Ciputat, Tangerang Selatan - Sebanyak 73,6 persen masyarakat Indonesia merasa puas terhadap kinerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menangani kasus korupsi. Temuan ini berasal dari survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 7–13 April 2025 dan menjadi sinyal positif terhadap komitmen pemerintahan baru dalam memberantas korupsi secara tegas.
Angka kepuasan publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan awal pemerintahan presiden sebelumnya, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono (60 persen) dan Joko Widodo (43 persen). Bahkan, mayoritas responden juga meyakini bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran akan mampu menyelesaikan berbagai kasus besar secara tuntas.
Survei Litbang Kompas: Harapan Baru dalam Penegakan Hukum
Dalam survei nasional yang melibatkan 1.200 responden dari seluruh provinsi di Indonesia, Litbang Kompas mencatat bahwa tingkat optimisme publik terhadap kemampuan pemerintah dalam mengungkap kasus korupsi sangat tinggi. Sebanyak 70,6 persen responden yakin kasus “Pertamax oplosan” akan dituntaskan, sementara 70,2 persen lainnya percaya skandal “Minyakita” juga akan dibongkar hingga ke akar.
Survei dilakukan dengan metode wawancara tatap muka menggunakan kuesioner terstruktur, dengan margin of error ±2,83 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Responden dipilih secara acak bertingkat (multistage random sampling). Namun, hasil ini hanya merupakan potret sesaat pada awal pemerintahan, sehingga dibutuhkan pengukuran berkala untuk memastikan tren ini bertahan.
Sebanyak 78,3 persen responden secara umum menyatakan optimisme bahwa pemerintah mampu menuntaskan berbagai kasus korupsi nasional. Ini menunjukkan adanya dorongan besar dari masyarakat agar pemerintah benar-benar menindaklanjuti kepercayaan ini dengan tindakan nyata.
Konsistensi Hasil dari Lembaga Survei Lain
Hasil serupa ditemukan dalam survei Indonesian Public Opinion (IPO) pada 22–28 Mei 2025. Dalam survei tersebut, 81 persen responden mengaku puas terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo. Menariknya, 16,7 persen menyatakan sikap antikorupsi sebagai alasan utama mereka.
Sementara itu, survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada 31 Mei 2025 menunjukkan bahwa 37,4 persen responden menilai kondisi pemberantasan korupsi saat ini “baik” hingga “sangat baik”, 22,6 persen menilai “sedang”, dan 35,4 persen menilai “buruk” atau “sangat buruk”.
IPO menggunakan metode telesurvei, sementara Indikator menggunakan wawancara langsung. Perbedaan metode ini dapat memunculkan variasi dalam profil responden, seperti bias terhadap kelompok usia muda atau masyarakat urban. Meskipun demikian, konsistensi tren positif menunjukkan bahwa masyarakat mengapresiasi langkah awal pemerintah dalam menangani korupsi.
Kepercayaan Terhadap Lembaga Penegak Hukum
Kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, khususnya Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kembali meningkat. Dalam survei Indikator bekerja sama dengan Liputan6, 52,8 persen responden menyatakan percaya bahwa Kejaksaan Agung mampu menyelesaikan kasus besar korupsi Pertamina yang diperkirakan merugikan negara hingga Rp193 triliun.
KPK juga mendapat kepercayaan publik yang cukup signifikan, meskipun lembaga ini sempat mengalami penurunan legitimasi pasca-revisi UU KPK tahun 2019. Tingkat kepercayaan publik terhadap KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi strategis berada pada kisaran 46,1 hingga 54,3 persen.
Kepercayaan terhadap Kejaksaan meningkat pasca-penuntasan kasus BTS Kominfo dan pengungkapan dugaan pencucian uang oleh petinggi BUMN energi. Sementara itu, KPK dinilai mulai menunjukkan perbaikan tata kelola dan transparansi setelah mengalami fase krisis kepercayaan publik.
Tanggapan Pemerintah dan Arah Kebijakan Antikorupsi
Dalam pidato peringatan Hari Lahir Pancasila, Presiden Prabowo menegaskan bahwa pemerintahan tidak akan mentolerir tindakan korupsi dalam bentuk apa pun. Arahan ini ditujukan langsung kepada pimpinan lembaga penegak hukum, termasuk Kejaksaan Agung, KPK, dan Kepolisian.
Pemerintah juga menggelar sejumlah pertemuan tertutup untuk membahas langkah-langkah taktis, termasuk memperkuat sinergi antar-lembaga dan mendorong reformasi sektor perizinan. Agenda antikorupsi menjadi bagian dari Asta Cita, terutama pada poin reformasi hukum, digitalisasi sistem pengawasan, dan pendidikan karakter antikorupsi sejak dini.
Selain itu, pemerintah tengah mengembangkan sistem pelaporan korupsi digital terintegrasi dengan whistleblower system milik Kementerian PAN-RB dan sistem pelacakan transaksi mencurigakan dari PPATK. Di saat bersamaan, upaya harmonisasi RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Tunai terus dilakukan sebagai bagian dari regulasi payung pemberantasan korupsi.
Tantangan Struktural dan Kritik dari Masyarakat Sipil
Di tengah optimisme publik, masyarakat sipil tetap melontarkan kritik konstruktif. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai belum adanya dorongan serius dari pemerintah dalam mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset sebagai instrumen hukum untuk menindak pelaku korupsi lintas batas.
Dalam laporan ICW bertajuk “Tren Penindakan Korupsi 2024”, disebutkan bahwa hanya 10,8 persen dari total nilai kerugian negara yang berhasil dikembalikan dari kasus korupsi. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menyebut, “Tanpa RUU Perampasan Aset, kita tidak bisa menyentuh harta hasil korupsi yang dialihkan ke pihak ketiga atau ke luar negeri.”
ICW juga menyoroti rendahnya efek jera. Dari 609 terdakwa kasus korupsi yang ditangani sepanjang 2024, 82 persen di antaranya hanya dihukum di bawah lima tahun penjara. Hal ini menunjukkan masih lemahnya penegakan hukum secara substansial, meskipun langkah pemerintah dinilai sudah mulai tepat secara arah kebijakan.
Kesimpulan: Momentum untuk Mengokohkan Integritas Nasional
Tingginya tingkat kepuasan publik terhadap penindakan korupsi di era Presiden Prabowo menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia berharap besar pada arah baru penegakan hukum yang lebih tegas dan adil. Dengan dukungan kuat terhadap lembaga penegak hukum dan dorongan dari masyarakat sipil, pemerintah memiliki peluang besar untuk membangun sistem antikorupsi yang kokoh dan berkelanjutan.
Namun, pekerjaan rumah masih banyak. Penguatan regulasi, percepatan legislasi, serta transparansi dalam proses hukum akan menjadi indikator penting apakah komitmen antikorupsi benar-benar berjalan di lapangan atau hanya berhenti di pidato.
Optimisme masyarakat adalah modal sosial yang sangat kuat. Kini saatnya untuk membuktikan bahwa pemerintahan bersih bukan sekadar janji, melainkan warisan.
(*)