Tangerang Selatan – Pendakwah dan influencer Muslim ternama, Felix Siauw, kembali menuai sorotan tajam publik setelah pernyataannya mengenai konflik Iran–Israel viral dan memicu polemik luas. Dalam sebuah ceramahnya yang diunggah ke media sosial, Felix menyebut bahwa Iran menyerang Israel bukan karena solidaritas terhadap Palestina, melainkan karena motif geopolitik semata. Pernyataan itu memicu gelombang kritik dari warganet, akademisi, hingga tokoh publik, yang menilai analisanya “dangkal”, "menyederhanakan konflik", dan bahkan “minim literasi.”
Titik Api Polemik: “Iran dan Israel Dulunya Bestie”
Pernyataan kontroversial ini muncul dalam video ceramah berdurasi lebih dari 10 menit yang diunggah Felix di media sosial. Dalam video tersebut, ia secara eksplisit menyampaikan:
“Iran dan Israel dulunya bestie.”
Felix merujuk pada masa sebelum Revolusi Islam 1979, ketika Syah Iran—Reza Pahlavi—memiliki hubungan strategis dengan Amerika Serikat dan Israel. Ia menambahkan bahwa hubungan “mesra” itu kini kembali coba dipaksakan oleh Israel untuk menjinakkan Iran. Namun, warganet dan akademisi menganggap analogi “bestie” tersebut tidak hanya keliru secara terminologis, tapi juga menyesatkan secara historis.
Tak berhenti di situ, Felix juga menyatakan:
“Motif Iran bukan bela Palestina.”
Menurutnya, serangan Iran ke Israel pada April 2024 adalah balasan atas pemboman kedutaan Iran di Damaskus oleh Israel, bukan karena semangat membela Palestina. Ia menilai aksi itu sebagai bagian dari upaya geopolitik Iran dalam menantang dominasi AS dan Israel di kawasan Timur Tengah.
Pernyataan lain yang juga memicu kontroversi adalah penekanan Felix terhadap perbedaan akidah Sunni–Syiah, yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai bentuk sektarianisme terselubung.
Respons Publik: "Oversimplifikasi", “Minim Literasi”, dan “Bias Sektarian”
Reaksi keras segera datang dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis media sosial hingga akademisi. Di Twitter, pernyataan Felix dibanjiri komentar negatif, dengan tagar #FelixSiauw dan #Iran trending di Indonesia. Banyak pengguna media sosial menilai pandangan Felix terlalu menyederhanakan konflik yang memiliki sejarah panjang, kompleks, dan menyangkut ideologi serta penjajahan.
Ade Armando, akademisi komunikasi yang dikenal vokal, turut mengkritisi argumen Felix. Ia menyebut bahwa Felix terjebak pada narasi geopolitik belaka dan gagal menangkap konsistensi dukungan Iran terhadap Palestina sejak 1979.
“Felix keliru ketika mengabaikan konsistensi Iran mendukung perjuangan Palestina. Itu bukan sekadar politik balas dendam, tapi bagian dari identitas ideologis pasca-revolusi,” ujar Ade dalam sebuah diskusi daring.
Kritik Akademis: Reduksi Sejarah dan Pengabaian Realitas
Kritik terhadap Felix juga datang dari kalangan akademisi dan pengamat politik Timur Tengah. Muchammad Chasif Ascha, penulis di Islami.co, menyebut bahwa menyederhanakan konflik Iran–Israel menjadi aksi politis pragmatis semata adalah bentuk reduksi sejarah yang berbahaya. Ia menulis:
“Iran memiliki rekam jejak panjang dalam mendukung Palestina, baik secara retoris, diplomatik, maupun militer. Serangan ke Israel tak bisa dipisahkan dari identitas revolusioner Syiah pasca-1979, yang memosisikan Zionisme sebagai musuh ideologis.”
Chasif juga menggarisbawahi bahwa Iran bukan hanya mendukung Palestina karena motif strategis, tetapi karena dukungan terhadap kelompok seperti Hamas, Islamic Jihad, dan Hizbullah, yang dilihat sebagai bagian dari front perlawanan terhadap pendudukan Israel.
Tuduhan Sektarianisme dan Motif Terselubung
Sejumlah pihak menuding pernyataan Felix menyimpan bias sektarian. Penekanan pada perbedaan akidah Sunni–Syiah dianggap sebagai bentuk delegitimasi terhadap Iran, yang justru selama ini menjadi negara paling vokal menentang pendudukan Israel.
Kritikus dari Harakatuna bahkan menilai bahwa narasi seperti yang dibawa Felix berpotensi memperkuat propaganda pro-Israel yang selama ini ingin memecah belah umat Islam melalui isu sektarian. Salah satu editorialnya menulis:
“Felix secara tidak langsung ikut memuluskan jalan propaganda sektarian ala Zionis. Ia menyerang motif Iran, tapi lupa bahwa mayoritas negara Sunni justru diam terhadap penjajahan Palestina.”
Literasi Geopolitik: Pelajaran dari Polemik
Kontroversi ini membuka kembali urgensi literasi geopolitik dan historis di tengah derasnya informasi di media sosial. Pandangan tunggal yang tidak berakar pada pemahaman lintas sejarah, ideologi, dan peran aktor negara dapat menyesatkan publik.
Konflik Iran–Israel bukan hanya tentang siapa menyerang siapa, tetapi mencakup dimensi-dimensi besar: identitas ideologi pasca-revolusi, solidaritas pan-Islamisme, relasi kekuasaan global, serta konflik panjang penjajahan Palestina yang belum usai.
Pernyataan Felix Siauw telah menimbulkan polemik nasional karena menyentuh isu yang sangat kompleks dan sensitif. Kritik tajam terhadapnya, termasuk dari tokoh publik dan akademisi, menunjukkan bahwa pendekatan sederhana atas konflik geopolitik seperti Iran–Israel dapat berisiko memicu disinformasi dan sektarianisme.
Sebagai publik, penting untuk tidak serta-merta menelan informasi tanpa membandingkan berbagai sumber kredibel dan historis. Literasi geopolitik bukan sekadar soal “siapa benar siapa salah”, tetapi soal memahami struktur kekuasaan, ideologi, dan sejarah panjang yang membentuk dinamika hari ini.
(*)