Jakarta - Indonesia masih menghadapi darurat korupsi. Kasus demi kasus terus bermunculan, melibatkan berbagai pejabat dari tingkat daerah hingga pusat. Kondisi Indonesia yang kian kritis, membuat Jaksa Agung ST Burhanuddin buka suara dan menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari pemimpin. Kalau pimpinannya korup, bawahannya akan menjadikannya teladan, ujar Burhanuddin.
Korupsi Sistemik, Mengapa Sosok Pemimpin Jadi Peran Kunci?
Pernyataan ini bukan sekadar wacana. Kasus yang terjadi di berbagai instansi pemerintahan membuktikan bahwa perilaku korup sering kali mengakar dalam sistem yang dipimpin oleh individu-individu yang tidak berintegritas. Pemimpin yang korup menciptakan lingkungan di mana praktik suap, penyalahgunaan wewenang, dan penggelapan dana dianggap sebagai hal yang biasa. Bawahan akan mengikuti apa yang mereka lihat dari atasannya, tegas Burhanuddin.
Sebuah studi dari Transparency International menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi sering kali memiliki pemimpin yang terlibat dalam skandal besar. Hal ini menunjukkan adanya trickle-down effect dalam korupsi, di mana perilaku atasan memengaruhi bawahannya. Burhanuddin menekankan bahwa keteladanan pemimpin adalah faktor utama dalam membangun sistem pemerintahan yang bersih.
Pencegahan: Bukan Sekadar Penindakan Hukum Semata
Menurutnya, upaya pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan penindakan hukum. Lebih dari itu, langkah preventif harus dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai integritas, akuntabilitas, transparansi, serta profesionalitas dalam diri setiap aparatur negara. Pemberantasan korupsi harus dimulai dari diri sendiri, katanya, sebagaimana dikutip dari Badiklat Kejaksaan RI.
Dalam praktiknya, negara-negara seperti Singapura dan Denmark berhasil menekan tingkat korupsi dengan membangun sistem pengawasan ketat, transparansi anggaran, serta kebijakan rekrutmen berbasis integritas. Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pendekatan ini dengan memperkuat pengawasan internal dan eksternal terhadap pejabat publik.
Efek Domino: Korupsi Merusak Kepercayaan Publik
Fenomena korupsi di Indonesia memang menunjukkan pola yang sistemik. Berbagai laporan menunjukkan bahwa kasus-kasus yang terbongkar sering kali bukan hanya melibatkan individu, tetapi juga jaringan yang bekerja secara terstruktur. Kejaksaan Agung sendiri telah menangani berbagai kasus besar, mulai dari skandal dana hibah, penyalahgunaan anggaran negara, hingga manipulasi proyek infrastruktur. Burhanuddin menegaskan bahwa jika pemimpin menunjukkan keteladanan yang kuat, maka bawahannya akan berpikir dua kali sebelum melakukan penyimpangan.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2024 mengungkap bahwa 72% masyarakat tidak percaya pada komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi. Ini menjadi bukti bahwa korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Pendidikan dan Keteladanan sebagai Solusi Jangka Panjang
Sikap ini perlu diterapkan tidak hanya di pemerintahan, tetapi juga di sektor swasta dan lembaga pendidikan. Korupsi bukan sekadar masalah hukum, melainkan juga isu moral yang harus diberantas melalui edukasi dan budaya transparansi sejak dini.
Dalam konteks ini, Burhanuddin mengingatkan bahwa hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika pemimpin bersih dan berintegritas, maka kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan pemerintahan akan meningkat. Sebaliknya, jika korupsi terus dibiarkan, maka yang akan terjadi adalah krisis kepercayaan yang semakin parah, di mana masyarakat tidak lagi percaya pada aparat penegak hukum dan pemerintah.
Indonesia butuh pemimpin yang tidak hanya memiliki visi dan strategi, tetapi juga menjadi contoh nyata dalam membangun pemerintahan yang bersih. Keteladanan bukan sekadar kata-kata, melainkan harus tercermin dalam tindakan nyata. Seperti yang dikatakan Burhanuddin, korupsi hanya bisa diberantas jika pemimpinnya menjadi panutan bagi bawahannya.
(*)