Apakah Kasus Tom Lembong Menjadi Preseden Baru Penegakan Hukum di Indonesia?
Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi menuai perhatian luas. Apakah ini pertanda supremasi hukum yang konsisten atau bentuk tebang pilih?
AS-Israel kembali gunakan narasi ancaman nuklir, kini diarahkan ke Iran. Benarkah ini propaganda baru yang ulangi kebohongan senjata pemusnah massal Irak 2003? Simak analisis mendalam tentang motif tersembunyi dan skenario geopolitik yang sedang dimainkan.
Jakarta - Amerika Serikat dan Israel kembali menghadirkan narasi ancaman global dari Timur Tengah, kali ini dengan fokus pada Iran dan program nuklirnya, dalam skema yang dinilai banyak pihak sebagai pengulangan taktik propaganda masa lalu terhadap Irak.
Meski narasi resmi menyebutkan bahwa Iran tengah mengembangkan senjata nuklir, laporan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan bahwa Iran belum menunjukkan indikasi membangun hulu ledak nuklir, meskipun pengayaan uranium telah mencapai 60 persen. “Kami memantau aktivitas teknis Iran secara terus-menerus,” tegas Rafael Grossi, Direktur Jenderal IAEA.
Klaim ancaman nuklir Iran mengingatkan pada situasi menjelang invasi ke Irak tahun 2003, ketika pemerintahan George W. Bush mengklaim bahwa Saddam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal. Namun, pasca invasi dan kehancuran Irak, tuduhan tersebut terbukti tidak berdasar.
Menurut laporan The Guardian pada 20 Juni 2025, “Kita berada di ambang bencana, perang ilegal baru di Timur Tengah. Propaganda senjata nuklir Iran sangat mengingatkan pada kebohongan soal WMD di Irak.” Analisis tersebut memperkuat pandangan bahwa konflik saat ini berakar dari motif geopolitik dan dominasi sumber daya, bukan semata alasan keamanan internasional.
Iran bukan hanya memiliki kekayaan uranium, tetapi juga menempati peringkat keempat dunia dalam cadangan minyak dan kedua dalam cadangan gas alam. Dalam perspektif geopolitik, negara ini adalah simpul energi strategis dan kekuatan ideologis regional yang kerap menentang hegemoni AS dan Israel.
Serangan Israel yang dilancarkan pada Juni 2025 terhadap situs militer dan nuklir Iran memicu respons besar. Iran meluncurkan lebih dari 150 rudal balistik dan 100 drone ke arah pangkalan Israel dan sekutu-sekutunya di wilayah Teluk. Pemerintah Iran menegaskan bahwa serangan balasan itu sebagai hak mempertahankan diri atas agresi asing.
“Tidak ada negara berdaulat yang akan tinggal diam ketika fasilitasnya diserang tanpa sebab,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran. Dalam waktu singkat, ketegangan di kawasan meningkat dan membuat harga minyak dunia melonjak, dengan potensi resesi global kembali membayangi.
Tak hanya lewat jalur militer, tekanan terhadap Iran juga datang dari dimensi politik internal. Sosok Reza Pahlavi, putra dari mantan Shah Iran, kembali tampil di panggung internasional dan menyerukan perubahan rezim. Namun, seperti dilaporkan The Financial Times, “Seruan Reza untuk revolusi demokratis hanya mendapat sedikit gema di dalam negeri. Ia dipandang terlalu dekat dengan kekuatan asing.”
Strategi ini mencerminkan taktik lama, mirip dengan dugaan intervensi diam-diam AS dalam menggulingkan Soeharto di Indonesia pada 1998. Ketika krisis ekonomi melanda dan oposisi diperkuat oleh tekanan luar, perubahan rezim menjadi ‘mulus’, meskipun menyisakan luka sosial yang panjang.
Kini, Iran berada dalam posisi sulit: di satu sisi berhadapan dengan kekuatan luar yang menginginkan perubahan politik dan dominasi energi; di sisi lain menghadapi tekanan rakyat akibat sanksi ekonomi yang memburuk. Namun berbeda dari Irak, Iran memiliki keunggulan militer, jaringan aliansi regional, serta narasi nasionalisme yang kuat di tengah rakyatnya.
Jika sejarah menjadi cermin, maka dunia harus waspada. Sebab kampanye “ancaman nuklir” Iran mungkin bukan soal keamanan global, melainkan kelanjutan ambisi untuk menguasai simpul energi dan memetakan ulang kekuatan Timur Tengah, dengan cara yang sama seperti menghancurkan Irak—hanya dalam bentuk dan dalih yang lebih canggih.
(*)
Redaksi Grahanusantara.ID (Media Graha Nusantara [MGN]) adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.
Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi menuai perhatian luas. Apakah ini pertanda supremasi hukum yang konsisten atau bentuk tebang pilih?
Hubungan Prabowo dan PDIP makin erat usai pertemuan elite Gerindra dengan Megawati. Apakah ini sinyal PDIP akan dukung pemerintahan Prabowo? Simak analisis lengkap soal KIM Plus, koalisi batin, dan arah politik nasional ke depan.
Reza Pahlavi kembali mencuat di tengah memanasnya konflik Iran-Israel. Mungkinkah AS dan Israel menyiapkan Reza sebagai pemimpin baru Iran demi kepentingan global? Simak investigasinya.