Jakarta – Israel tengah menghadapi tuduhan serius di panggung internasional terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan genosida terhadap warga sipil Palestina di Jalur Gaza. Gugatan hukum telah diajukan oleh Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional (ICJ) pada 29 Desember 2023, dengan dokumen setebal 84 halaman yang merinci dugaan pelanggaran Konvensi Genosida 1948.
Seiring itu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) juga mengajukan permohonan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada 20 Mei 2024. Kedua proses hukum tersebut menjadi sorotan global di tengah meningkatnya jumlah korban sipil dan krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Gaza.
Korban Sipil dan Kehancuran di Gaza
Data terbaru dari Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) mencatat bahwa hingga Juni 2025, lebih dari 37.400 warga Palestina tewas, dan sekitar 84.300 lainnya terluka. Sekitar 70% korban jiwa merupakan perempuan dan anak-anak, menunjukkan dampak tidak proporsional terhadap warga sipil.
Menurut Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, banyak korban jatuh akibat penggunaan senjata eksplosif daya rusak tinggi di kawasan padat penduduk, seperti bom 2.000 pon yang dijatuhkan dari udara. Amnesty menyebutkan bahwa serangan tersebut “tidak sesuai prinsip proporsionalitas dan diskriminasi dalam hukum humaniter internasional.”
Sementara itu, lebih dari 60% infrastruktur di Gaza telah hancur, termasuk 36 dari 38 rumah sakit yang tidak lagi berfungsi (WHO, Mei 2025). Sekitar 1,7 juta orang atau hampir 80% dari total populasi Gaza telah mengungsi secara internal akibat kehancuran tersebut, menurut data UNRWA.
Blokade dan Krisis Bantuan Kemanusiaan
Sejak awal serangan, Israel memperketat blokade darat, laut, dan udara terhadap Gaza. Menurut World Food Programme (WFP), hanya 100–150 truk bantuan yang diizinkan masuk per hari—jumlah yang sangat jauh dari kebutuhan harian minimum 500 truk, sebagaimana disebut dalam laporan PBB.
Akibat pembatasan itu, lebih dari 1,1 juta orang mengalami kelaparan tingkat darurat (IPC Fase 4), dan sebanyak 495.000 orang terancam kelaparan tingkat kritis (IPC Fase 5) berdasarkan klasifikasi Inisiatif Famine Review Committee (FRC) pada Mei 2025. UNICEF juga melaporkan 1 dari 3 anak di bawah usia lima tahun menderita wasting atau malnutrisi akut berat.
Afrika Selatan dalam gugatan ICJ menyatakan bahwa:
“Israel telah menciptakan kondisi kehidupan yang dirancang untuk menghancurkan sebagian besar rakyat Palestina di Gaza, termasuk dengan menghalangi bantuan dan memblokade akses dasar kehidupan.” – Pernyataan dalam dokumen ICJ, 2023
Tuduhan Genosida di Mahkamah Internasional (ICJ)
Gugatan yang diajukan oleh Afrika Selatan mengacu pada pasal-pasal dalam Konvensi Genosida 1948, dengan menyatakan bahwa tindakan militer dan kebijakan Israel memiliki niat untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian kelompok etnis Palestina.
ICJ merespons gugatan tersebut dengan mengeluarkan perintah tindakan sementara (provisional measures) pada 26 Januari 2024. Beberapa poin penting dalam putusan ICJ:
- Israel wajib mencegah tindakan genosida.
- Israel harus menghukum pejabat atau personel yang mendorong atau melakukan genosida.
- Israel harus memastikan pengiriman bantuan kemanusiaan.
- Israel diwajibkan menyerahkan laporan kepatuhan kepada ICJ dalam waktu sebulan.
Meskipun belum ada putusan akhir tentang substansi genosida, ICJ menyatakan terdapat "kemungkinan masuk akal" bahwa tindakan yang dituduhkan dapat melanggar Konvensi Genosida.
Penyelidikan dan Surat Perintah dari ICC
Pada 20 Mei 2024, Jaksa Penuntut ICC Karim A.A. Khan KC mengajukan permohonan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant. Tuduhan resmi yang diajukan mencakup:
- Kejahatan perang: penggunaan kelaparan sebagai metode perang, penargetan fasilitas sipil, dan pembunuhan disengaja.
- Kejahatan terhadap kemanusiaan: penganiayaan, pemindahan paksa, penyiksaan, dan kekerasan sistemik terhadap warga sipil.
“Ada alasan kuat untuk percaya bahwa kedua individu ini memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan serius yang sedang berlangsung.” – Karim Khan, ICC, 2024.
Walau Israel dan AS menolak yurisdiksi ICC, Palestina adalah negara pihak ICC sejak 2015, sehingga ICC mengklaim yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi di wilayah tersebut.
Latar Belakang Konflik dan Eskalasi
Konflik terbaru dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menyebabkan tewasnya sekitar 1.200 warga Israel dan penyanderaan lebih dari 240 orang, menurut data Pemerintah Israel. Hamas menembakkan lebih dari 3.000 roket dan melakukan infiltrasi bersenjata di permukiman sipil.
Sebagai respons, Israel meluncurkan operasi militer “Swords of Iron” ke Gaza. Pemerintah menyatakan bahwa serangan ditujukan pada infrastruktur Hamas dan fasilitas militer tersembunyi, termasuk terowongan dan peluncur roket.
Namun, sejumlah organisasi HAM menyebut bahwa taktik militer Israel tidak membedakan antara kombatan dan non-kombatan, melanggar prinsip distinction dan proportionality dalam hukum konflik bersenjata.
Perlakuan Tahanan dan Laporan Penyiksaan
Laporan investigatif dari The Guardian, Al Jazeera, dan B’Tselem menyebutkan bahwa ratusan warga Palestina yang ditahan di wilayah Gaza dan Tepi Barat mengalami:
- Penahanan tanpa dakwaan (administrative detention)
- Pemukulan dan penyiksaan fisik
- Penahanan di fasilitas tertutup tanpa akses pengacara atau keluarga
Video dan kesaksian korban menunjukkan adanya kekerasan sistemik, termasuk penggunaan suhu ekstrem dan isolasi berkepanjangan. Jika terbukti benar, praktik ini melanggar Konvensi Jenewa Keempat dan Konvensi Menentang Penyiksaan (UNCAT).
Respons dan Implikasi Global
Proses hukum di ICJ dan ICC telah menimbulkan reaksi beragam:
- Amerika Serikat menyebut tuduhan ICC sebagai “tidak berdasar dan politis,” serta menjatuhkan sanksi terhadap staf ICC.
- Afrika Selatan, Brasil, Irlandia, Kolombia, dan beberapa negara Global South mendukung penyelidikan.
- Uni Eropa terbagi: sebagian mendukung ICC, lainnya berhati-hati mengingat hubungan diplomatik dengan Israel.
Selain itu, aksi protes publik dan gerakan boikot terhadap produk Israel meningkat di kampus, pusat perdagangan, dan lembaga akademik di berbagai negara, termasuk AS, Kanada, Prancis, dan Indonesia.
Tantangan Penegakan Hukum Internasional
Baik ICJ maupun ICC menghadapi kendala struktural:
- ICJ tidak memiliki mekanisme penegakan. Keputusannya bergantung pada Dewan Keamanan PBB, tempat AS memiliki hak veto.
- ICC bergantung pada kerja sama negara anggota dalam menangkap tersangka. Karena Israel bukan anggota ICC, peluang eksekusi surat perintah sangat terbatas tanpa tekanan internasional.
Meski begitu, proses hukum ini menandai perkembangan penting dalam upaya global menegakkan prinsip akuntabilitas, termasuk terhadap aktor negara kuat sekalipun.
Tuduhan pelanggaran HAM dan genosida terhadap Israel di Jalur Gaza menunjukkan bagaimana konflik bersenjata modern dapat menyeret negara ke dalam ranah pertanggungjawaban hukum internasional. Dengan keterlibatan dua lembaga peradilan utama dunia—ICJ dan ICC—kasus ini akan menjadi ujian bagi efektivitas sistem hukum internasional dalam menegakkan keadilan, melindungi warga sipil, dan menyeimbangkan hak pertahanan dengan kewajiban kemanusiaan.
(*)