Jakarta - Jepang, negeri yang selama puluhan tahun dipuja karena kecanggihan teknologi dan etos kerja tinggi, kini justru dilanda krisis yang mengancam keberlanjutannya sebagai negara maju. Populasi yang menyusut drastis, budaya kerja toksik, stagnasi ekonomi berkepanjangan, serta utang negara yang menembus 260% dari Produk Domestik Bruto (PDB) menjadikan Jepang sebagai contoh nyata bahwa kemajuan ekonomi tanpa fondasi sosial yang kuat bisa berbalik menjadi bencana.
Tahun 2022 menandai titik balik: hanya 800 ribu bayi lahir, sementara 1,6 juta warga meninggal dunia. Dengan kata lain, Jepang kehilangan sekitar 800 ribu jiwa dalam satu tahun. Jika tren ini berlanjut, populasi Jepang diperkirakan menyusut dari 125 juta menjadi sekitar 53 juta pada tahun 2100, menurut proyeksi dari National Institute of Population and Social Security Research.
Krisis Demografi: Ketika Negeri Menua dan Generasi Muda Enggan Lahir
“Bayangin... 1 dari 2 orang Jepang di 2060 adalah lansia.”
Dengan angka kelahiran hanya 1,3 anak per perempuan, Jepang berada jauh di bawah batas pengganti populasi sebesar 2,1. Krisis ini memicu efek domino:
- Sekolah tutup karena kekurangan murid.
- Penjualan popok lansia kini melebihi popok bayi.
- Perusahaan mulai mempekerjakan warga usia 70 tahun ke atas karena minimnya tenaga kerja muda.
Kebijakan pemerintah yang mendorong pernikahan dan kelahiran anak sejauh ini belum berhasil signifikan. Beban hidup tinggi, budaya kerja yang menekan, serta mahalnya biaya membesarkan anak membuat generasi muda memilih tidak menikah atau tidak punya anak.
Stagnasi Ekonomi dan Bayang-Bayang ‘Lost Decades’
“Sejak krisis 1990, Jepang trauma risiko: Anti investasi, anti utang, anti konsumsi.”
Krisis ekonomi yang meledak akibat gelembung properti tahun 1990 menyisakan luka mendalam dalam sistem keuangan Jepang. Negara tersebut memasuki masa yang dikenal sebagai “The Lost Decades” — periode panjang stagnasi ekonomi.
Harga-harga terus menurun (deflasi), masyarakat lebih memilih menabung ketimbang membelanjakan uang, dan perusahaan enggan ekspansi karena permintaan lesu. Meskipun Bank Sentral Jepang telah menurunkan suku bunga mendekati nol bahkan menerapkan kebijakan pelonggaran moneter ekstrem, pertumbuhan ekonomi tetap tidak bergerak.
“Orang Jepang gak kekurangan uang. Mereka kekurangan keyakinan dan harapan.”
Ketidakpercayaan terhadap masa depan membuat masyarakat enggan mengambil risiko — baik untuk konsumsi, investasi, atau membangun keluarga.
Budaya Kerja Toksik yang Menggerus Produktivitas dan Kesehatan Mental
“Generasi muda Jepang: Kerja 80 jam/minggu, harus minum sama bos, senioritas tinggi, kreativitas mati.”
Tekanan di tempat kerja di Jepang terkenal ekstrem. Fenomena karoshi, yakni kematian akibat kelelahan bekerja, menjadi salah satu isu serius. Jam kerja panjang, tekanan hierarki senior-junior yang kuat, dan budaya kerja konvensional membuat banyak anak muda menarik diri dari dunia sosial dan profesional.
Diperkirakan ada sekitar 1,5 juta warga Jepang yang mengalami hikikomori — kondisi di mana seseorang mengisolasi diri sepenuhnya dari masyarakat. Masalah ini menjadi lingkaran setan: tekanan kerja → kesehatan mental terganggu → enggan menikah → populasi menyusut → tenaga kerja makin sedikit → tekanan kerja makin besar.
Utang Negara Membengkak dan Daya Saing Menurun
“Utang Jepang = 260% dari GDP! Bandingkan: Indonesia ~39%, AS ~120%.”
Utang pemerintah Jepang kini menjadi yang tertinggi di dunia. Dana tersebut digunakan untuk mendanai jaminan sosial lansia, pembangunan infrastruktur, dan subsidi ekonomi.
Namun ironisnya, kinerja sektor industri Jepang mulai merosot. Di sektor elektronik, raksasa seperti Sony, Panasonic, dan Toshiba kini kalah dari Samsung dan Apple. Di industri otomotif, Toyota dan Honda mulai tertinggal dibanding Tesla dan BYD dari Tiongkok.
Kurangnya regenerasi tenaga kerja, minimnya inovasi akibat budaya kerja konservatif, dan penurunan pasar domestik menjadi tantangan serius bagi daya saing global Jepang.
Peringatan Keras untuk Indonesia
“Ini bukan cuma cerita Jepang. Ini cermin masa depan dunia.”
Meskipun Indonesia kini berada dalam masa bonus demografi, bukan berarti kita kebal terhadap ancaman serupa. Ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari krisis Jepang:
- Dorong regenerasi populasi: Beri insentif pernikahan dan kelahiran anak, serta ciptakan lingkungan ramah keluarga muda.
- Reformasi budaya kerja: Kurangi tekanan hierarki, beri ruang inovasi dan keseimbangan hidup.
- Hindari jebakan deflasi: Dorong konsumsi rumah tangga dan investasi melalui kebijakan fiskal yang tepat.
- Kelola utang dengan bijak: Fokuskan pinjaman negara pada proyek-proyek produktif jangka panjang.
Jepang, Cermin Krisis yang Tak Disangka dari Dunia Maju
Jepang adalah contoh nyata bahwa kemajuan teknologi dan ekonomi saja tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan sebuah bangsa. Ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan demografis, dan kesehatan sosial dapat menggoyang fondasi negara mana pun — tak peduli sekuat apa ekonominya.
Bagi Indonesia, kisah Jepang seharusnya menjadi alarm dini untuk menghindari jebakan yang sama. Mumpung masih punya waktu, investasi terbesar kita seharusnya adalah pada manusia, bukan hanya angka pertumbuhan.
(*)