Press ESC to close

Kejaksaan Agung Tetapkan Tom Lembong Tersangka, Refly Harun Curiga Ada Motif Lain!

Jakarta - Kejaksaan Agung resmi menetapkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula tahun 2016. 

Namun, keputusan ini menuai tanda tanya besar. Pakar hukum tata negara, Refly Harun, menilai ada kejanggalan dalam proses hukum tersebut dan menduga ada motif lain di baliknya.

"Kita tahu tujuannya," ujar Refly, mengisyaratkan bahwa langkah ini bukan sekadar proses hukum biasa. 

Ia menyoroti potensi kriminalisasi kebijakan, yang berbahaya jika tidak didasarkan pada bukti kuat.

Unsur Korupsi yang Dipertanyakan

Dalam hukum pidana korupsi, terdapat tiga unsur utama yang harus terpenuhi: penyalahgunaan kewenangan atau tindakan melawan hukum, perbuatan memperkaya diri sendiri atau pihak lain, serta adanya kerugian negara. 

Menurut Refly, unsur-unsur ini harus dibuktikan secara jelas sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.

"Penyidik harus bisa membuktikan bahwa perbuatan itu dilakukan dengan niat jahat dari Tom Lembong," tegasnya. 

Ia menjelaskan bahwa salah satu indikator utama dalam kasus korupsi adalah adanya aliran dana yang menguntungkan pihak tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Benarkah Negara Dirugikan?

Salah satu poin krusial dalam kasus ini adalah klaim bahwa impor gula yang dilakukan di era Lembong merugikan negara. 

Namun, menurut Refly, keuntungan yang diperoleh pihak swasta dalam kebijakan ekonomi tidak serta-merta berarti ada kerugian negara.

"Negara kurang untung. Setelah swasta dapat untung Rp400 miliar, seharusnya untung itu buat BUMN, karena bukan BUMN yang mengimpor," jelasnya. 

Ia menegaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara kehilangan potensi keuntungan dan kerugian negara yang nyata dalam perspektif hukum.

Kriminalisasi Kebijakan?

Refly juga mengingatkan bahwa kebijakan publik yang dianggap merugikan negara tidak bisa otomatis dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, kecuali ada bukti niat jahat. 

Ia membandingkan kasus ini dengan proyek-proyek besar lain yang menuai kritik, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), Bandara Kertajati, hingga kereta cepat Jakarta-Bandung.

"Kalau kebijakan, tidak boleh dikriminalkan kalau tidak ada niat jahatnya," tegasnya. Menurutnya, kriminalisasi kebijakan akan menciptakan efek domino yang buruk, di mana para pejabat dan pengambil keputusan bisa menjadi enggan untuk bertindak karena takut diproses hukum di kemudian hari.

Ujian bagi Kejaksaan Agung

Kini, publik menunggu langkah lanjutan dari Kejaksaan Agung. Apakah benar ada aliran dana yang membuktikan keterlibatan Lembong dalam kasus ini? Ataukah ini sekadar upaya mencari kambing hitam dalam kebijakan yang kontroversial?

Jika Kejaksaan Agung tidak mampu membuktikan tuduhan ini dengan kuat, maka kasus ini berisiko menjadi contoh kriminalisasi kebijakan yang akan menghambat proses pengambilan keputusan di masa depan. 

Bagi banyak pihak, kasus ini bukan sekadar perkara hukum, tetapi juga ujian besar bagi kredibilitas penegakan hukum di Indonesia.

(*)

Graha Nusantara

Graha Nusantara adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *