Apakah Kasus Tom Lembong Menjadi Preseden Baru Penegakan Hukum di Indonesia?
Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi menuai perhatian luas. Apakah ini pertanda supremasi hukum yang konsisten atau bentuk tebang pilih?
Ketegangan Iran-Israel memuncak, posisi strategis Yordania jadi sorotan. Akankah negara mayoritas muslim ini bakal terseret dalam perang besar? Simak analisis mendalam konflik, kekuatan militer, dan risiko keterlibatan Yordania dalam eskalasi Timur Tengah.
Jakarta - Ketegangan antara Iran dan Israel kembali memuncak setelah Israel melancarkan serangan udara ke sejumlah fasilitas strategis Iran pada Juni 2025. Operasi ini menyasar pusat pengembangan rudal dan sistem radar Iran, memicu respons keras dari Teheran. Dalam eskalasi yang mengarah pada konfrontasi terbuka, Yordania—yang berbatasan langsung dengan Israel—mendadak menjadi titik sorotan penting. Bukan hanya karena letaknya, tetapi juga karena posisinya dalam konfigurasi militer dan diplomatik kawasan. Apakah Yordania akan tetap netral, atau terseret dalam konflik bersenjata yang lebih luas?
Yordania dan Israel menjalin hubungan formal sejak penandatanganan Perjanjian Perdamaian Wadi Araba tahun 1994. Perjanjian ini membawa kerja sama dalam berbagai bidang, terutama dalam pengelolaan air, perbatasan, dan keamanan. Kedua negara juga memiliki mekanisme kerja sama intelijen yang telah berlangsung puluhan tahun, dengan koordinasi rahasia terhadap ancaman dari Suriah dan Irak.
Namun hubungan ini tidak selalu harmonis. Populasi Yordania terdiri dari sekitar 60% warga keturunan Palestina, yang umumnya memandang Israel sebagai penjajah. Ini membuat pemerintah Yordania harus berhati-hati dalam menjalankan kebijakan luar negeri. Saat agresi Israel ke Gaza atau pengusiran di Tepi Barat meningkat, ribuan orang turun ke jalan menuntut pemutusan hubungan diplomatik. Pemerintah Raja Abdullah II kerap mengutuk secara retoris tindakan Israel, namun tetap mempertahankan saluran komunikasi karena nilai strategis hubungan tersebut.
Pada Maret 2023, misalnya, raja Yordania secara terbuka mengkritik tindakan Israel di Masjid Al-Aqsa, namun di sisi lain, angkatan udara kedua negara tetap menjalankan koordinasi dalam pengawasan wilayah udara perbatasan timur. Hubungan ini seperti dua sisi mata uang: penuh perhitungan di permukaan, namun sangat intensif di balik layar demi stabilitas bersama.
Secara geografis, Yordania berada di jantung Timur Tengah. Negara ini berbatasan langsung dengan Israel di barat, Suriah di utara, Irak di timur, dan Arab Saudi di selatan. Letaknya yang berada di antara wilayah sekutu dan musuh menjadikannya penting dalam kalkulasi serangan udara jarak jauh.
Wilayah udara Yordania menjadi salah satu jalur terpendek dan paling efisien untuk operasi Israel ke wilayah barat Iran. Dalam serangan Juni 2025, analis penerbangan militer dari situs FlightRadar mencatat bahwa sejumlah pesawat tempur F-35 dan drone pengintai lepas landas dari Negev dan menempuh jalur udara melalui Yordania, sebelum mengarah ke Irak dan Iran. Hal ini memicu pemerintah Yordania untuk segera menutup wilayah udaranya sebagai bentuk kehati-hatian.
Yordania juga menjadi tuan rumah bagi radar-radar NATO dan stasiun pengawasan milik Amerika Serikat, terutama di sekitar Muwaffaq Salti Air Base. Pangkalan ini memiliki sistem radar AN/TPY-2 dan sistem komunikasi terpadu yang menghubungkan pertahanan udara Israel dan AS. Tanpa peran Yordania, kecepatan deteksi dini terhadap ancaman rudal dari timur akan jauh menurun.
Meskipun tidak pernah menyatakan secara resmi bahwa mereka mendukung Israel, Yordania tetap mendapat keuntungan strategis melalui sikap kooperatif yang tersirat. Dukungan ini memberi akses terhadap aliran dana bantuan luar negeri. Pada tahun fiskal 2023, Amerika Serikat memberikan bantuan senilai lebih dari USD 1,45 miliar kepada Yordania, dengan alokasi USD 425 juta untuk sektor militer. Selain itu, program pelatihan dan peralatan militer dari AS dan Inggris juga terus berjalan.
Namun, sikap ini membawa risiko besar. Pada 14 Juni 2025, juru bicara militer Iran menyebut negara yang menyediakan dukungan logistik atau wilayah udara kepada Israel sebagai "sasaran sah". Ini membuat Yordania harus menyeimbangkan antara manfaat strategis dan ancaman keamanan langsung. Setiap langkah yang dianggap berpihak bisa memicu serangan rudal atau serangan siber, seperti yang dialami oleh sistem komunikasi pemerintah Yordania pada akhir Mei 2025.
Di sisi lain, tekanan domestik semakin meningkat. Lembaga survei Jordan Center for Strategic Studies pada awal 2025 menunjukkan bahwa lebih dari 72% warga Yordania menentang segala bentuk keterlibatan dalam konflik Iran-Israel, bahkan hanya sekadar membuka wilayah udara.
Israel adalah kekuatan militer yang tidak bisa diremehkan. Dengan anggaran pertahanan lebih dari USD 23 miliar pada 2023, Israel mengandalkan kekuatan udara superior, teknologi satelit, dan sistem pertahanan berlapis seperti Iron Dome, Arrow-3, dan David’s Sling. Selain itu, kerja sama intelijen dengan AS dan teknologi pengintaian dari Mossad menjadikan Israel memiliki keunggulan dalam pertempuran berbasis informasi.
Namun Israel tetap menghadapi tantangan geografis. Tanpa akses wilayah udara Yordania, jalur serangan ke Iran harus memutar melalui Laut Merah dan Teluk Arab, meningkatkan waktu tempuh dan risiko deteksi. Ini mengurangi efektivitas serangan presisi terhadap sasaran strategis di wilayah Iran tengah.
Dalam konteks defensif, radar di wilayah Yordania menjadi bagian dari sistem peringatan dini untuk mendeteksi rudal Iran yang melintasi Irak atau Suriah. Tanpa dukungan ini, Israel harus bergantung pada radar di Siprus dan Negev, yang cakupannya lebih terbatas terhadap ancaman dari timur laut.
Iran memiliki jumlah personel militer sekitar 610.000, termasuk 350.000 tentara aktif dan 250.000 pasukan cadangan. Iran juga memiliki sekitar 3.000 rudal balistik, dengan jangkauan antara 300 hingga 2.000 km, termasuk rudal Shahab-3 yang mampu menjangkau seluruh wilayah Israel. Selain itu, Iran mengoperasikan program drone militer yang semakin maju, dengan model seperti Shahed-136 yang telah digunakan dalam konflik di Ukraina dan Irak.
Di sisi lain, Israel memiliki keunggulan dalam teknologi. Jet tempur F-35 Adir, drone pengintai Eitan, dan sistem peperangan elektronik menjadikan Israel unggul dalam peperangan udara dan pengintaian. Selain itu, militer Israel juga dilengkapi dengan sistem peperangan siber yang mampu menyerang infrastruktur musuh tanpa melibatkan kekuatan konvensional.
Namun perbedaan utamanya terletak pada taktik. Iran mengandalkan pendekatan asimetris dengan menggunakan proksi seperti Hezbollah di Lebanon, milisi Hashd al-Shaabi di Irak, dan kelompok Houthi di Yaman. Israel fokus pada operasi langsung, dengan serangan udara presisi dan intelijen tingkat tinggi yang memungkinkan mereka menyerang titik vital musuh dengan kerugian minimal.
Secara doktrin militer, Iran lebih memilih menyasar target yang secara langsung membahayakan kepentingannya. Dalam konteks Yordania, Iran tidak memiliki alasan kuat untuk melancarkan serangan terbuka, kecuali negara itu memberikan dukungan langsung kepada Israel. Namun, ancaman serangan tidak langsung tetap ada.
Iran memiliki akses ke milisi di Irak barat yang dekat dengan perbatasan Yordania. Selain itu, kelompok ekstremis seperti Liwa Abu al-Fadl al-Abbas bisa menjadi alat serangan terbatas terhadap sasaran logistik atau pangkalan militer di timur Amman. Serangan siber juga menjadi jalur yang mungkin dipilih Iran, sebagaimana yang telah dilakukan terhadap infrastruktur Israel dan AS dalam beberapa tahun terakhir.
Selain itu, kampanye informasi Iran di media sosial berbahasa Arab juga telah mengarah pada delegitimasi peran Yordania, menggambarkannya sebagai antek Barat. Strategi ini berfungsi untuk memperlemah kepercayaan publik terhadap pemerintah Yordania dan menciptakan tekanan politik dari dalam negeri.
Yordania menghadapi dilema yang sangat kompleks. Di satu sisi, negara ini bergantung pada bantuan luar negeri, khususnya dari AS dan Eropa, untuk menopang anggaran nasional dan pertahanan. Di sisi lain, ia harus menjaga stabilitas dalam negeri yang sensitif terhadap isu Palestina dan oposisi terhadap Israel.
Kebijakan yang ditempuh adalah netral aktif. Saat Israel menyerang Iran pada 13 Juni 2025, Yordania segera menutup wilayah udaranya dan mengeluarkan pernyataan netral. Namun laporan intelijen menunjukkan bahwa radar-radar di wilayahnya tetap aktif dan memberikan kontribusi pada peringatan dini terhadap serangan balasan Iran.
Yordania tampaknya akan terus menjalankan peran sebagai buffer state: menjadi mitra strategis bagi sekutu Barat tanpa terjun langsung dalam konflik terbuka. Dalam tatanan geopolitik Timur Tengah yang dinamis, kemampuan Yordania menjaga keseimbangan ini akan menentukan apakah mereka mampu menghindari terseret dalam pusaran perang yang lebih luas.
(*)
Redaksi Grahanusantara.ID (Media Graha Nusantara [MGN]) adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.
Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi menuai perhatian luas. Apakah ini pertanda supremasi hukum yang konsisten atau bentuk tebang pilih?
Hubungan Prabowo dan PDIP makin erat usai pertemuan elite Gerindra dengan Megawati. Apakah ini sinyal PDIP akan dukung pemerintahan Prabowo? Simak analisis lengkap soal KIM Plus, koalisi batin, dan arah politik nasional ke depan.
AS-Israel kembali gunakan narasi ancaman nuklir, kini diarahkan ke Iran. Benarkah ini propaganda baru yang ulangi kebohongan senjata pemusnah massal Irak 2003? Simak analisis mendalam tentang motif tersembunyi dan skenario geopolitik yang sedang dimainkan.