Jakarta – Serangan siber terhadap media yang memberitakan dugaan kasus hukum bukan lagi fenomena langka. Di balik setiap laporan jurnalistik yang menyoroti pelanggaran atau dugaan korupsi, ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, lalu memilih jalan pintas: menyewa hacker untuk membungkam berita.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah media lokal di Indonesia mengalami serangan siber setelah mempublikasikan laporan investigasi atau berita hukum. Motifnya jelas—menekan redaksi, menghapus jejak digital pemberitaan, dan menebar teror agar media enggan melanjutkan liputan. Aksi ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers.
Saat Berita Dianggap Ancaman, Situs Media Jadi Sasaran
“Setelah kami memberitakan kasus dugaan korupsi pejabat daerah, server kami langsung diserang. Situs lumpuh selama hampir dua hari,” ujar seorang redaktur media lokal yang enggan disebutkan namanya karena alasan keamanan.
Modus yang digunakan bervariasi. Mulai dari serangan Distributed Denial of Service (DDoS), upaya peretasan login admin, deface halaman utama, hingga serangan tingkat lanjut yang menyasar database berita untuk dihapus permanen.
“Ini bukan lagi sekadar ancaman. Ini upaya nyata membungkam informasi publik,” tambahnya.
Fenomena ini memperlihatkan pola baru dalam kriminalisasi pers: tidak lagi mengandalkan gugatan hukum atau somasi, melainkan serangan digital tersembunyi yang bisa melumpuhkan operasional media dalam hitungan menit.
Ancaman Siber dan Hukum yang Berlaku
Serangan terhadap situs media tergolong sebagai tindak pidana serius. Di Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah mengatur secara tegas soal akses ilegal dan sabotase sistem elektronik.
Pasal 30 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang telah diperbarui dalam UU No. 19 Tahun 2016 menyebutkan:
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apapun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600 juta."
Jika serangan tersebut menyebabkan kerusakan atau gangguan sistem, hukuman bisa meningkat hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar.
Sayangnya, pelaku serangan siber terhadap media sering kali sulit ditelusuri, terlebih jika menggunakan jaringan proxy internasional atau dark web untuk menyamarkan identitas.
Kasus-kasus yang Pernah Terjadi
Beberapa contoh serangan siber terhadap media mencuat dalam beberapa tahun terakhir, meski tidak semuanya dilaporkan secara terbuka. Salah satu kasus menimpa sebuah media di Sumatera yang mengalami serangan beruntun setelah mengangkat laporan investigasi mengenai tender proyek infrastruktur.
“Setelah dua kali berita kami tayang, situs kami tidak bisa diakses. Lalu halaman berita hilang dari indeks Google, dan email redaksi diserbu spam,” ujar jurnalis media tersebut, yang kini memperketat semua lapisan keamanan digitalnya.
Serangan serupa juga pernah dialami oleh media internasional seperti Al Jazeera, The Guardian, dan New York Times, terutama saat meliput konflik geopolitik atau skandal internasional. Polanya identik: pemberitaan kritis → serangan siber → disinformasi balasan.
Langkah Mitigasi: Media Harus Siap
Dalam menghadapi ancaman ini, media tidak cukup hanya mengandalkan firewall biasa. Sistem keamanan digital harus diperkuat secara menyeluruh:
- Gunakan Web Application Firewall (WAF) seperti Cloudflare atau Sucuri.
- Backup rutin, baik on-site maupun off-site.
- Audit keamanan berkala, termasuk pemantauan log akses server.
- Batasi akses admin dan gunakan autentikasi ganda (2FA).
- Laporkan serangan ke polisi siber atau Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Dewan Pers Indonesia juga menyarankan agar media yang diserang siber tetap mengedepankan prinsip etik dan tidak takut untuk melanjutkan peliputan, selama mematuhi kaidah jurnalistik dan hak jawab.
Hak Jawab Adalah Solusi, Bukan Serangan Siber
Dalam sistem demokrasi, pemberitaan yang dirasa merugikan tidak seharusnya dibalas dengan kejahatan digital. Hukum menyediakan ruang untuk klarifikasi. Kode Etik Jurnalistik Pasal 1 menyebutkan:
“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk.”
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan, Pasal 5 UU Pers No. 40 Tahun 1999 memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mengajukan hak jawab. Proses ini jauh lebih bermartabat daripada melibatkan kriminal siber.
Serangan terhadap media bukan hanya soal teknis server atau jurnalisme investigasi. Ia menyangkut nilai-nilai fundamental: hak publik atas informasi, perlindungan terhadap pers, dan keberanian melawan intimidasi.
Bagi media, kini saatnya untuk memperkuat bukan hanya redaksi, tapi juga sistem pertahanan digital. Dan bagi publik, keberpihakan pada kebenaran harus dimulai dari kesadaran bahwa membungkam media adalah membungkam suara kita sendiri. ***