Jakarta - Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Hendry Ch Bangun, menyentil keras langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menetapkan Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka. Ia menilai tindakan tersebut mencederai semangat kebebasan pers dan melanggar nota kesepahaman (MoU) antara Kejagung dan Dewan Pers yang masih berlaku hingga saat ini.
“Penilaian terhadap karya jurnalistik adalah kewenangan Dewan Pers, bukan lembaga lain seperti Kejagung,” tegas Hendry.
Menurutnya, pendekatan hukum pidana seharusnya menjadi opsi terakhir, setelah mekanisme etik diselesaikan melalui Dewan Pers. Kejagung, kata Hendry, wajib menghormati prosedur yang telah disepakati, termasuk keharusan berkonsultasi dengan Dewan Pers sebelum mempidanakan seorang jurnalis.
“MoU itu masih berlaku, dan seharusnya dipatuhi. Jangan abaikan aturan yang telah disepakati,” tambahnya.
Kasus ini mencuat setelah Tian Bahtiar dituding menyebarkan narasi negatif melalui pemberitaan jurnalistik. Hendry menegaskan, tindakan itu bukanlah kejahatan, melainkan bagian dari tugas pers sebagai pilar demokrasi. Ia mengingatkan bahwa kriminalisasi terhadap wartawan hanya akan membuka jalan bagi pembungkaman kebebasan berpendapat di ruang publik.
“Kami mendukung pemberantasan korupsi. Tapi jangan pidanakan wartawan hanya karena pemberitaannya dianggap negatif,” ujarnya.
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) juga mengingatkan Kejagung untuk tidak gegabah dalam menangani kasus yang menyangkut kerja jurnalistik. Sesuai nota kesepahaman yang telah ditandatangani bersama Dewan Pers, setiap persoalan konten pemberitaan wajib dinilai terlebih dahulu oleh lembaga yang berwenang secara etik, bukan langsung diseret ke jalur pidana.
Isu ini pun menjadi peringatan serius bahwa perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia masih rentan. Jika lembaga hukum mengabaikan prosedur etik dan langsung menjerat wartawan dengan pidana, maka demokrasi dan kebebasan pers berada di ujung tanduk.
(*)