Jakarta - Polemik mengenai keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo kembali mencuat ke permukaan publik. Di tengah derasnya spekulasi dan pendapat yang beredar, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, angkat bicara dan memberikan penjelasan yang menohok serta sarat muatan hukum tata negara.
Melalui pernyataan di kanal Tribun Update pada Minggu (4/5/2025), Mahfud menyampaikan pandangan yang mengejutkan namun berlandaskan pada kerangka hukum konstitusional. Jokowi akan tetap sah jadi presiden meski ijazahnya terbukti palsu, ujarnya lugas.
Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Mahfud menanggapi sejumlah pendapat yang berkembang di masyarakat, yang menyatakan bahwa apabila ijazah Presiden Jokowi terbukti hasil rekayasa, maka seluruh kebijakan dan aturan yang dibuat selama masa jabatannya otomatis menjadi tidak sah. Menurut Mahfud, pandangan tersebut tidak memiliki dasar dalam sistem hukum tata negara Indonesia.
Ia kemudian menjelaskan, Seluruh aturan tersebut akan tetap sah berlaku, meski ijazah mantan Presiden ke-7 Indonesia itu palsu. Baginya, kekuatan hukum dari produk kebijakan presiden tidak bergantung pada legalitas administratif masa lalu yang bersifat pribadi, tetapi pada sistem hukum yang telah menetapkan dan mengesahkan kekuasaan tersebut secara formal dan sah.
Pasalnya, menurut Mahfud, Seluruh aturan itu sudah sah secara hukum tata negara. Ia menegaskan bahwa negara ini tidak berjalan dengan asumsi, melainkan dengan legitimasi berdasarkan hukum yang telah berlaku. Oleh karena itu, seluruh keputusan dan kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Lebih jauh, Mahfud menyoroti dampak jika pengadilan sampai mengabulkan gugatan yang menyebut seluruh kebijakan Jokowi tidak sah karena ijazah yang dipersoalkan. Dan apabila putusan pengadilan sampai memberlakukan aturan yang menyebut bahwa seluruh kebijakan Jokowi tidak sah, maka negara dipastikan bubar, ujarnya tegas.
Namun, Mahfud segera memberi penegasan penting yang meredam kecemasan. Ia menyatakan, Hakim tak mungkin mengetuk palu untuk putusan demikian. Baginya, hal tersebut tidak akan terjadi karena berisiko mengacaukan seluruh tatanan hukum dan pemerintahan yang sudah berjalan.
Pernyataan Mahfud ini memberi penegasan bahwa dalam konteks kenegaraan, validitas keputusan seorang kepala negara tidak serta-merta terhapus oleh isu administratif personal. Dengan demikian, meskipun polemik ijazah ini belum mereda, fondasi hukum negara tetap dijaga agar tidak runtuh oleh narasi yang tidak berdasar. ***