Jakarta - Penemuan yang menghebohkan publik kembali datang dari Negeri Tirai Bambu. Sebuah video viral yang memperlihatkan lokasi yang diklaim sebagai makam Nabi Zulkifli di kawasan Tembok Besar China menuai sorotan tajam dari masyarakat Muslim dunia. Alih-alih disambut sebagai kabar gembira, video tersebut justru memicu gelombang pertanyaan: benarkah makam tersebut autentik? Jika tidak, di mana sebenarnya makam Nabi Zulkifli berada?
Dalam video yang diunggah oleh kanal YouTube detikpost.com, tampak sebuah kompleks makam sederhana dengan ukiran nama Nabi Zulkifli AS dalam aksara Arab. Lokasi tersebut disebut-sebut berada di sekitar kawasan wisata Tembok Besar China yang ramai dikunjungi turis. Tak sedikit penonton video itu yang mempercayai keaslian klaim tersebut, sementara yang lain justru meragukannya karena minimnya bukti historis dan arkeologis.
Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Situs tersebut tidak didukung oleh catatan sejarah Islam yang kredibel. Bahkan, menurut video itu sendiri, penemuan ini masih bersifat dugaan dan belum ada verifikasi resmi dari lembaga keagamaan atau akademisi. Dalam keterangannya, pembuat video menyatakan: “Video ini hanya untuk tujuan informasi. Kami tidak mengklaim kebenaran absolut.”
Sontak, muncul keraguan dari warganet. Banyak yang menilai klaim makam tersebut sebagai bagian dari narasi yang dipaksakan demi kepentingan wisata religi atau bahkan propaganda budaya. Dalam berbagai komentar, netizen mempertanyakan, “Mengapa tidak ada informasi ini sebelumnya?” atau “Apakah ini bukan upaya mengaburkan fakta sejarah Islam?”
Secara historis, sebagian besar ulama menyatakan bahwa makam Nabi Zulkifli berada di wilayah Irak, tepatnya di kota Al-Kifl, dekat Najaf. Di sana terdapat kompleks ziarah yang dikenal sebagai Maqam Nabi Dhu al-Kifl, yang telah lama dihormati oleh umat Islam. Kompleks ini bahkan dilindungi oleh badan-badan internasional sebagai bagian dari warisan sejarah keagamaan.
Namun, nama Nabi Zulkifli sendiri memang kerap menimbulkan perdebatan di kalangan sejarawan. Identitas beliau masih diselimuti misteri, karena tidak banyak informasi eksplisit dalam Al-Qur’an mengenai kisah hidup maupun tempat wafatnya. Beberapa pendapat menyebut beliau identik dengan tokoh dalam kitab suci lainnya, namun pernyataan ini pun belum menemukan kesepakatan di kalangan ahli tafsir.
Klaim makam di China pun menambah panjang daftar kontroversi yang melibatkan penemuan artefak atau situs religius yang meragukan. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena serupa kerap muncul dan viral di media sosial—dari temuan “jejak perahu Nabi Nuh” di pegunungan Turki, hingga lokasi “gua Ashabul Kahfi” di berbagai negara.
Pada akhirnya, publik diimbau untuk bersikap kritis. Keinginan untuk memperkuat keimanan dan kecintaan terhadap para nabi tentu sah-sah saja. Namun, penting pula untuk menimbangnya dengan dasar ilmu pengetahuan dan bukti sejarah yang valid. Tanpa itu, informasi yang viral justru bisa menyesatkan dan mencederai pemahaman umat.
Penemuan yang diklaim sebagai makam Nabi Zulkifli di China, sejauh ini, masih perlu dikaji lebih lanjut. Hingga ada verifikasi ilmiah dan teologis yang dapat dipertanggungjawabkan, klaim tersebut sebaiknya disikapi dengan kehati-hatian. Sebab dalam hal keyakinan dan sejarah suci, kejujuran adalah fondasi utama yang tak boleh diganggu gugat.
(*)