Jakarta - Kini, Kamboja dikenal bukan hanya sebagai destinasi wisata, tetapi juga sebagai episentrum penipuan daring dan perdagangan manusia lintas negara yang menggurita. Di balik praktik kriminal ini, tersingkap keterlibatan tokoh-tokoh berkuasa yang berlindung di balik jaringan kekuasaan serta lemahnya penegakan hukum.
Investigasi dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (DoS), Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), dan lembaga hak asasi manusia Safeguard Defenders mengungkap jaringan kejahatan terorganisir di wilayah Sihanoukville, Kamboja. Para pelaku memanfaatkan zona ekonomi khusus dan kompleks kasino sebagai kedok untuk menyekap ribuan korban—termasuk Warga Negara Indonesia (WNI)—dan memaksa mereka bekerja sebagai operator penipuan daring berskala global.
Salah satu tokoh sentral dalam skema ini adalah Ly Yong Phat, senator Kamboja dan pemilik LYP Group. Pada September 2024, DoS menjatuhkan sanksi terhadapnya berdasarkan Global Magnitsky Act, dengan tuduhan bahwa perusahaan miliknya terlibat dalam kerja paksa dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam pernyataan resminya, DoS menyebut bahwa Ly Yong Phat “bertanggung jawab atau terlibat secara langsung dalam pelanggaran berat terhadap HAM, termasuk kerja paksa dan eksploitasi.”
Tokoh lain yang disebut dalam berbagai laporan adalah Kok An, taipan sekaligus senator yang memiliki jaringan kasino Anco Brothers. Nama Kok An muncul dalam investigasi OCCRP yang mengaitkannya dengan aktivitas penipuan daring, pencucian uang, dan pelanggaran HAM berat, termasuk penggusuran paksa dan intimidasi terhadap masyarakat lokal.
Selain itu, Kuong Li, pemilik kompleks Huang Le di Sihanoukville, disebut sebagai fasilitator utama dalam operasi pig butchering scam—metode penipuan daring berbasis rayuan asmara dan investasi palsu. Berdasarkan laporan lapangan dari Safeguard Defenders, kompleks ini menampung ratusan orang yang dijebak melalui tawaran kerja, lalu dipaksa menipu korban internasional di bawah ancaman kekerasan fisik.
Menurut berbagai laporan investigasi media nasional, kesaksian korban, dan pernyataan dari LSM Migrant Care, ratusan WNI menjadi korban penipuan lowongan kerja di Kamboja. Para korban direkrut melalui media sosial seperti Facebook dan TikTok, dengan iming-iming pekerjaan bergaji tinggi sebagai operator layanan pelanggan atau digital marketing.
Namun, kenyataan yang mereka hadapi jauh dari harapan. Dokumen identitas mereka disita, akses komunikasi dibatasi, dan mereka dikurung di gedung berpagar tinggi dengan penjagaan ketat. Mereka dipaksa bekerja dalam sistem penipuan daring yang menyasar korban dari berbagai negara, menggunakan skema seperti pig butchering yang memanipulasi korban melalui hubungan emosional palsu sebelum menguras dana mereka dalam skema investasi fiktif.
Korban diwajibkan memenuhi target harian untuk menjaring korban baru. Jika gagal, mereka menghadapi hukuman fisik dan psikologis. Beberapa korban mengaku disetrum, dipukul, dan dipaksa bekerja selama 15–18 jam per hari tanpa bayaran. Kesaksian lain menyebutkan bahwa mereka yang dianggap “tidak produktif” bisa dijual ke sindikat lain dengan harga ribuan dolar.
Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi Migrasi dari Migrant Care, menyatakan bahwa para korban tidak hanya dieksploitasi secara ekonomi, tetapi juga mengalami kekerasan fisik dan psikis yang sistematis. Ia menambahkan bahwa beberapa korban menghilang setelah meminta bantuan, diduga dipindahkan atau diperjualbelikan kembali ke lokasi lain.
Sindikat kerap kali memindahkan para korban antarnegara—dari Kamboja ke Myanmar atau Laos—untuk menghindari deteksi otoritas atau liputan media. Situasi ini membuat upaya evakuasi oleh Kementerian Luar Negeri dan pihak berwenang Indonesia menjadi sangat kompleks dan penuh risiko.
Jaringan kejahatan ini diduga dijalankan oleh sindikat kriminal asal Tiongkok yang menggunakan teknologi tinggi dan sistem pelacakan untuk mengawasi para korban. Menurut Safeguard Defenders, operasi ini berlangsung dengan minim pengawasan dari otoritas Kamboja—bahkan, dalam banyak kasus, otoritas setempat diduga terlibat langsung atau mendapatkan keuntungan dari aktivitas ilegal tersebut.
Kelemahan hukum dan praktik korupsi di tingkat lokal turut memperparah situasi. Human Rights Watch menyebut dalam laporannya bahwa beberapa pejabat keamanan Kamboja secara aktif menutup mata terhadap penyiksaan dan perdagangan manusia yang terjadi di wilayah yang dikuasai oleh para pengusaha besar.
Fenomena ini bukan sekadar kejahatan lokal, melainkan telah menjadi krisis global. Ribuan korban dari Asia Tenggara—termasuk Indonesia, Filipina, dan Vietnam—menjadi pion dalam industri penipuan digital yang diperkirakan menghasilkan miliaran dolar dari para korban di seluruh dunia.
Tanpa kerja sama internasional yang kuat dan tekanan hukum terhadap elite yang melindungi sindikat ini, kejahatan perdagangan manusia dan penipuan daring akan terus berulang. Para korban menanti keadilan, dan dunia tak boleh tinggal diam menghadapi bentuk perbudakan modern yang terjadi secara terang-terangan.
(*)