• 14 Jul, 2025

Pemakzulan Gibran, Manuver Politik atau Koreksi Konstitusi?

Pemakzulan Gibran, Manuver Politik atau Koreksi Konstitusi?

Wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka memicu debat panas di tengah dinamika politik pasca pemilu 2024. Apakah PDIP akan mendukung langkah ini atau justru memilih kompromi dengan kekuasaan?

Jakarta - Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kian menguat pasca desakan resmi Forum Purnawirawan TNI kepada DPR dan MPR. Di tengah keheningan mayoritas partai dan kemesraan politik antara Megawati dan Prabowo, pertanyaan kunci pun menyeruak: apakah PDIP akan mendukung langkah ini atau justru meredamnya demi stabilitas?

Desakan dari Purnawirawan, Suara dari Masa Lalu

Pada 26 Mei 2025, Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengirimkan surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 kepada DPR dan MPR. Surat tersebut ditandatangani oleh empat jenderal purnawirawan—Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, Hanafie Asnan, dan Slamet Soebijanto—yang mewakili forum dengan keanggotaan sekitar 330 orang.

Mereka menuding proses naiknya Gibran ke posisi cawapres cacat secara hukum dan etika. Sorotan utama mereka adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai membuka jalan nepotisme karena melibatkan Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran.

Dalam surat itu, mereka menegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan, imparsialitas, dan integritas lembaga peradilan. Forum ini merujuk pada sejumlah dasar hukum, termasuk UUD 1945 Pasal 7A, TAP MPR XI/1998, UU MK 24/2003, dan UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009.

PDIP: Menghormati Prosedur, Menakar Risiko Politik

Di tengah sorotan publik, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengambil posisi moderat. Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, menyatakan bahwa surat dari Forum Purnawirawan akan dikaji terlebih dahulu. Menurutnya, proses pemakzulan bukan perkara emosional, melainkan harus berbasis konstitusi dan melalui mekanisme yang sah.

“Kalau ada surat... DPR akan mengkaji terlebih dahulu. Tidak ujug-ujug surat langsung diproses. Kami ini bekerja berdasarkan konstitusi,” ujar Said.

Senada dengan itu, Andreas Hugo Pareira, anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP, menekankan pentingnya menghargai suara masyarakat. Namun, ia juga mengingatkan bahwa proses pemakzulan sangat panjang dan ketat. DPR harus menyetujui usulan dengan dukungan dua pertiga anggota, kemudian disidangkan di Mahkamah Konstitusi, lalu diputuskan dalam sidang paripurna MPR.

PDIP sejauh ini tampaknya tidak ingin buru-buru mengambil langkah yang berisiko secara politik. Mereka lebih memilih berhati-hati dan menunggu dinamika yang berkembang di parlemen dan masyarakat.

Jokowi dan KIM Plus: Meredam Gejolak, Mempertegas Legitimasi

Presiden Joko Widodo menanggapi isu pemakzulan secara ringan. Ia menyebutnya sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan menegaskan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia memiliki prosedur yang jelas untuk hal semacam itu.

"Itu dinamika demokrasi. Proses sesuai sistem ketatanegaraan," kata Jokowi.

Sementara itu, Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus) yang menjadi basis kekuasaan Prabowo–Gibran menolak keras wacana ini. Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa pencalonan Gibran telah melalui keputusan Mahkamah Konstitusi yang sah, sehingga tidak ada pelanggaran hukum berat yang bisa dijadikan dasar pemakzulan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, bahkan menyebut isu pemakzulan sebagai kegaduhan yang tidak perlu.

"Ini ribut-ribut kampungan. Tidak ada manfaatnya bagi bangsa," ujar Luhut.

Koalisi besar yang menopang pemerintahan Prabowo–Gibran secara jelas menunjukkan bahwa mereka tidak akan memberi ruang politik bagi isu ini untuk berkembang menjadi krisis institusional.

Dinamika Megawati dan Prabowo: Damai di Permukaan, Tegang di Dasar?

Hubungan hangat antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam beberapa agenda kenegaraan memunculkan spekulasi politik. Banyak yang menilai, PDIP mulai membuka kemungkinan untuk berkoalisi atau setidaknya menjaga komunikasi politik yang kondusif dengan pemerintahan baru.

Namun, dengan munculnya desakan pemakzulan terhadap Gibran, posisi PDIP kembali berada dalam dilema politik. Jika mendukung pemakzulan, PDIP bisa kehilangan akses terhadap kekuasaan yang baru terbentuk. Jika menolak, mereka akan dihadapkan pada pertanyaan moral dari basis pemilihnya yang selama ini mengusung narasi antinepotisme.

Sejauh ini, PDIP memilih bersikap netral aktif. Mereka tidak secara eksplisit mendukung, tetapi juga tidak menolak secara terbuka.

Realitas Politik: Antara Konstitusi dan Kalkulasi

Secara konstitusional, pemakzulan seorang wakil presiden dimungkinkan. Namun secara politik, realitasnya sangat sulit. PDIP dan partai lain yang bersikap kritis terhadap Gibran tidak memiliki kekuatan suara yang cukup di DPR untuk memulai proses tersebut.

Koalisi KIM Plus menguasai mayoritas kursi parlemen, dan mereka telah menyatakan sikap menolak pemakzulan. Dukungan dua pertiga dari anggota DPR menjadi prasyarat awal yang sulit dipenuhi. Proses selanjutnya yang melibatkan Mahkamah Konstitusi dan Sidang Paripurna MPR juga membutuhkan legitimasi hukum dan politik yang sangat tinggi.

Menurut Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, isu ini lebih banyak dimaknai sebagai strategi simbolik daripada langkah hukum yang serius.

“Ini lebih ke strategi simbolik untuk membangun legitimasi moral. Proses hukum akan mentok karena peta kekuatan di parlemen jelas tak menguntungkan,” ujarnya.

Dengan kata lain, isu pemakzulan lebih menyerupai sinyal politik daripada agenda hukum yang realistis.

Menakar Batas Antara Hukum dan Politik

Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka membuka kembali diskusi publik tentang etika, hukum, dan dinamika kekuasaan di Indonesia. Di tengah fragmentasi politik dan ketegangan moral pasca pemilu, isu ini menjadi alat untuk menguji sejauh mana konstitusi dapat melawan kepentingan dinasti dan nepotisme.

Namun di sisi lain, realitas politik dan struktur kekuasaan yang telah terbentuk membuat isu ini cenderung menjadi simbolik. PDIP dan kekuatan oposisi lainnya harus menimbang antara menjadi penjaga moralitas atau tetap pragmatis dalam peta kekuasaan baru.

(*)

Redaksi MGN

Redaksi MGN

Redaksi Grahanusantara.ID (Media Graha Nusantara [MGN]) adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.