• 12 Jul, 2025

Pemakzulan Gibran Rakabuming Raka: Legalitas Formal, Etika Publik, dan Potensi Dinasti Politik

Pemakzulan Gibran Rakabuming Raka: Legalitas Formal, Etika Publik, dan Potensi Dinasti Politik

Analisis hukum dan etika soal wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka, lengkap dengan pandangan pakar, opini publik, dan dinamika politik nasional.

Jakarta - Isu pemakzulan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke permukaan. Polemik ini bermula dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuka jalan bagi Gibran untuk mencalonkan diri, kendati belum genap berusia 40 tahun. Putusan tersebut memicu gelombang kritik dari publik, akademisi, hingga para purnawirawan TNI.

Putusan MK dan Kontroversi Etika

Putusan MK yang dibacakan pada 16 Oktober 2023 menyatakan bahwa calon presiden atau wakil presiden yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun. Dengan dasar itu, Gibran, Wali Kota Surakarta berusia 36 tahun saat itu, dinyatakan sah mencalonkan diri.

Namun, persoalan muncul ketika diketahui bahwa Ketua MK saat itu, Anwar Usman, adalah paman Gibran. Hubungan kekeluargaan ini menimbulkan dugaan konflik kepentingan yang kuat. Pada 7 November 2023, Majelis Kehormatan MK menyatakan Anwar Usman terbukti melanggar kode etik dan menjatuhkan sanksi pencopotan dari jabatan Ketua MK.

"Usman was proven to have committed a serious violation of the code of ethics..." tulis Associated Press (7/11/2023).

Meski demikian, putusan MK tetap dinyatakan sah dan mengikat, sehingga Gibran tetap melaju sebagai calon dan kini telah resmi menjabat sebagai Wakil Presiden.

Peluang Pemakzulan secara Konstitusional

Menurut Pasal 7A dan Pasal 8 UUD 1945, presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berat, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala negara.

Hingga kini, belum ada putusan hukum tetap yang menyatakan Gibran melakukan pelanggaran hukum berat. Dugaan pelanggaran etik dan pemanfaatan fasilitas negara untuk kampanye masih dalam tahap polemik publik dan belum menjadi objek hukum formal di Mahkamah Konstitusi atau lembaga pengawasan lain seperti KPK atau Bawaslu.

Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, dalam wawancara bersama Kompas, pemakzulan mensyaratkan adanya keputusan hukum yang kuat, bukan sekadar sanksi etik. Ia menyebut, "Pemakzulan adalah mekanisme politik yang dibingkai secara hukum, bukan sebaliknya."

Kritik terhadap Politik Dinasti dan Opini Publik

Kritik terhadap Gibran tak hanya berhenti pada persoalan hukum, tetapi juga merambah ke ranah moral dan demokrasi. Peneliti dari berbagai universitas seperti Universitas Tidar dan UIN Jakarta menyebut bahwa pencalonan Gibran menunjukkan praktik politik dinasti yang mengancam prinsip meritokrasi dalam demokrasi Indonesia.

Forum Purnawirawan TNI, pada April 2025, menyampaikan petisi terbuka yang menyerukan pemakzulan Gibran karena dinilai menjadi produk dari pelanggaran etika hukum dan konstitusi. Dalam petisi itu, lebih dari 100 jenderal purnawirawan turut menandatangani seruan tersebut.

Di sisi lain, hasil survei Populi Center pada akhir 2023 menunjukkan bahwa 53,1% responden setuju dengan putusan MK asalkan tetap mengacu pada pengalaman kepala daerah sebagai syarat.

Dalam wawancaranya dengan Tempo, Direktur Eksekutif Populi Center, Usep S. Ahyar, menjelaskan bahwa opini publik menunjukkan adanya "penerimaan pragmatis, namun dibarengi kekhawatiran akan preseden politik yang tidak sehat."

Analisis Hukum dan Politik

Secara hukum, peluang pemakzulan terhadap Gibran dinilai kecil. Tanpa adanya bukti pelanggaran berat atau keputusan hukum final, tidak ada landasan konstitusional yang cukup kuat. Selain itu, DPR dan MPR sebagai lembaga pemegang wewenang pemakzulan didominasi oleh koalisi pendukung Prabowo-Gibran, yang menurunkan kemungkinan pengajuan usulan pemakzulan.

Namun, secara etika dan politik, kasus ini menjadi preseden buruk bagi independensi lembaga peradilan dan kualitas demokrasi Indonesia. Para pengamat menyarankan perlunya reformasi di tubuh MK dan sistem pencalonan agar mencegah terulangnya konflik kepentingan serupa di masa depan.

Dalam laporan Majalah Gatra, pengamat politik dari LIPI, Wasisto Raharjo Jati, menyatakan bahwa polemik ini memperlihatkan bagaimana “konsolidasi kekuasaan dapat memanipulasi tafsir hukum untuk kepentingan elektoral.”

Meskipun Gibran Rakabuming Raka sah secara hukum menjabat sebagai Wakil Presiden, kontroversi mengenai etika, nepotisme, dan potensi politik dinasti belum mereda. Kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam menyeimbangkan antara legalitas formal dan legitimasi moral dalam praktik demokrasi di Indonesia.

Rekomendasi

  1. Penguatan lembaga pengawasan seperti Bawaslu, DKPP, dan KPK untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
  2. Reformasi sistem seleksi hakim MK untuk mencegah intervensi politik.
  3. Literasi politik publik yang lebih luas agar masyarakat kritis terhadap praktik nepotisme.

(*)

Redaksi MGN

Redaksi MGN

Redaksi Grahanusantara.ID (Media Graha Nusantara [MGN]) adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.