• 16 Jul, 2025

Perang Iran vs Israel, Pemicu Awal Runtuhnya Ekonomi AS dan Dominasi Dolar?

Perang Iran vs Israel, Pemicu Awal Runtuhnya Ekonomi AS dan Dominasi Dolar?

Konflik Iran–Israel memicu lonjakan harga minyak, dedolarisasi global, dan tekanan ekonomi di AS. Apakah ini awal keruntuhan dominasi dolar dan ekonomi Amerika?

Jakarta - Ketegangan bersenjata antara Iran dan Israel kembali memanas di pertengahan 2025. Serangan udara, sabotase fasilitas militer, hingga ancaman blokade jalur distribusi minyak membuat dunia kembali di ambang krisis global. Namun, lebih dari sekadar perang terbuka di Timur Tengah, konflik ini menyeret kekuatan-kekuatan besar dunia dan berpotensi menjadi pemicu perubahan tatanan ekonomi internasional.

Amerika Serikat, yang selama puluhan tahun menjadi poros ekonomi global lewat hegemoni dolar, kini menghadapi tekanan dari berbagai arah: stagflasi domestik, lonjakan harga energi, krisis utang, dan yang tak kalah penting—gelombang dedolarisasi. Apakah ini awal dari keruntuhan ekonomi AS dan berakhirnya era dominasi dolar?

Lonjakan Harga Minyak: Krisis Energi di Titik Genting

Konflik antara Iran dan Israel berdampak langsung pada harga minyak dunia. Selat Hormuz—jalur yang dilalui sekitar 20% pasokan minyak global—terancam ditutup oleh milisi pro-Iran jika ketegangan meningkat. Akibatnya, harga minyak jenis Brent melonjak ke atas US$78 per barel pada Juni 2025, naik lebih dari 11% dibanding bulan sebelumnya.

Kenaikan ini tidak hanya mencerminkan ketakutan pasar, tetapi juga risiko nyata terhadap kelangsungan distribusi energi global. Negara-negara pengimpor utama seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, dan sebagian besar Eropa menghadapi ancaman lonjakan biaya produksi dan inflasi.

Situasi ini bahkan lebih serius karena datang setelah periode panjang pemulihan pasca-COVID dan krisis suplai akibat perang Rusia-Ukraina. Dunia belum benar-benar pulih dari tekanan harga energi tahun 2022–2023, dan sekarang dipaksa menghadapi gelombang baru yang bisa lebih dahsyat. Jika Iran melancarkan serangan terhadap infrastruktur energi di Teluk atau Selat Hormuz ditutup penuh, harga minyak bisa tembus US$120–150 per barel. Ini akan menjadi pukulan telak bagi ekonomi global yang sudah rapuh.

Stagflasi di AS: Inflasi Belum Selesai, Resesi Menanti

Kondisi ekonomi Amerika Serikat semakin sulit dibaca. Di satu sisi, Federal Reserve telah menaikkan suku bunga dalam dua tahun terakhir untuk mengendalikan inflasi, yang sempat menembus 9% pada 2022. Namun hingga pertengahan 2025, inflasi tetap berada di atas target ideal 2%, terutama karena tekanan dari sektor energi dan pangan.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi melambat drastis. Laporan terbaru Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan global 2025 menjadi 2,3%. Sementara IMF memperingatkan bahwa ekonomi AS berisiko memasuki "resesi teknikal" jika harga minyak terus naik dan konsumen menahan belanja karena tekanan harga.

Masalah lain yang membayangi adalah utang nasional AS yang telah melampaui US$34 triliun. Dengan beban bunga yang meningkat karena suku bunga tinggi, pemerintah AS terjebak dalam dilema: menaikkan bunga berarti memperparah defisit, tetapi menurunkannya bisa melepaskan inflasi kembali.

Kondisi ini menciptakan risiko stagflasi—fenomena berbahaya ketika inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan perlambatan ekonomi. Terakhir kali stagflasi terjadi dalam skala besar di AS adalah pada dekade 1970-an, dan dampaknya menghancurkan daya beli rakyat serta kepercayaan terhadap dolar.

Dolar sebagai Safe Haven: Mulai Retak di Tengah Krisis

Selama beberapa dekade, dolar AS selalu menjadi pelarian investor global ketika terjadi krisis. Namun, pada 2025, pola ini mulai berubah. Indeks Dolar (DXY) memang naik tipis sekitar 0,11% setelah ketegangan Iran–Israel meningkat, tetapi tidak menunjukkan lonjakan besar seperti yang terjadi pada masa krisis 2008 atau 2020.

Menurut analisis Reuters, permintaan terhadap dolar saat ini lebih didorong oleh instrumen derivatif dan kebutuhan likuiditas korporasi, bukan karena keyakinan jangka panjang. Sementara itu, aliran modal ke aset alternatif seperti emas, komoditas, dan bahkan kripto—mengindikasikan bahwa investor mencari pelindung nilai di luar sistem dolar.

Hal ini menjadi peringatan bahwa kepercayaan global terhadap dolar sebagai “mata uang paling aman” sedang mengalami erosi, walaupun belum benar-benar runtuh.

Dedolarisasi: Wacana yang Kini Jadi Aksi Nyata

Dedolarisasi bukan lagi hanya agenda Rusia atau Iran. Sejumlah negara besar kini mengambil langkah konkret untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dalam perdagangan internasional dan cadangan devisa.

Tiongkok dan Rusia memperluas penggunaan yuan dan rubel dalam transaksi energi. India menjajaki perdagangan bilateral berbasis rupee. Bahkan Arab Saudi—sekutu lama AS—mulai menerima pembayaran minyak dalam yuan, terutama dari Tiongkok.

Data IMF menyebutkan bahwa pada awal 2025, porsi dolar dalam cadangan devisa global turun menjadi 57,8%, titik terendah sejak 1994. Di sisi lain, cadangan berbasis yuan, euro, dan emas meningkat.

Dedolarisasi juga dipercepat oleh kebijakan sanksi AS yang dianggap sewenang-wenang. Banyak negara khawatir terhadap dominasi SWIFT dan sistem pembayaran yang dikendalikan Washington, sehingga mulai mengembangkan sistem alternatif seperti CIPS (Tiongkok), SPFS (Rusia), hingga sistem berbasis blockchain dan mata uang digital bank sentral (CBDC).

Menuju Sistem Ekonomi Multipolar: Dunia Tak Lagi Tunggal

Salah satu konsekuensi logis dari dedolarisasi dan ketegangan geopolitik adalah munculnya tatanan ekonomi multipolar. Artinya, kekuatan ekonomi dunia tidak lagi berpusat pada satu negara atau satu mata uang, melainkan terbagi ke dalam beberapa blok.

BRICS+ (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan dan negara mitra) kini menjadi platform utama dalam membangun arsitektur keuangan baru. Mereka membahas pembuatan mata uang bersama berbasis komoditas dan mendorong perdagangan lintas negara tanpa dolar.

Eropa memperkuat sistem transaksi berbasis euro dan mengurangi eksposur ke risiko geopolitik AS. ASEAN mendorong sistem pembayaran lokal lintas negara. Bahkan Afrika dan Amerika Latin kini menyuarakan sistem ekonomi regional yang lebih otonom.

Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam. Tapi jelas bahwa dunia sedang bergerak menjauhi ketergantungan total terhadap sistem moneter yang dikendalikan AS.

Akhir Sebuah Era atau Awal Transisi?

Perang Iran–Israel memang belum menjatuhkan ekonomi AS atau langsung menggulingkan dominasi dolar. Tapi dampaknya melampaui sekadar konflik militer. Ini adalah katalis, yang mempercepat perubahan geopolitik dan pergeseran ekonomi global yang sudah berjalan sejak krisis 2008.

AS masih memiliki kekuatan struktural: pasar finansial terbesar, teknologi dominan, dan militer kuat. Namun dunia kini tidak lagi buta terhadap risiko ketergantungan tunggal.

Apakah ini akhir dari dominasi dolar? Belum tentu. Tapi jelas, dunia sedang mempersiapkan alternatifnya. Dan perang ini mungkin menjadi titik balik penting dalam sejarah keuangan internasional.

(*)

Redaksi MGN

Redaksi MGN

Redaksi Grahanusantara.ID (Media Graha Nusantara [MGN]) adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.