Jakarta - Perang yang kian panas antara Iran dan Israel mulai menunjukkan dampak nyata bagi perekonomian global, khususnya di sektor energi. Harga minyak dunia tercatat melonjak dalam beberapa pekan terakhir, memicu kekhawatiran para analis militer dan ekonomi Amerika Serikat terhadap potensi krisis global jika konflik terus meluas.
Konflik ini tidak hanya mengancam stabilitas Timur Tengah, tetapi juga berisiko menciptakan guncangan pada rantai pasok energi dunia yang sudah rapuh sejak pandemi dan perang di Ukraina. Selat Hormuz, jalur vital bagi hampir seperlima pasokan minyak dunia, menjadi pusat perhatian jika eskalasi konflik berlanjut.
Harga Minyak Naik Drastis, Pasar Energi Bergejolak
Lonjakan harga minyak terjadi tak lama setelah serangan-serangan saling balas antara Iran dan Israel meningkat. Brent, acuan global untuk harga minyak mentah, sempat melonjak hingga 7% dalam sepekan dan menyentuh angka 90 dolar AS per barel secara intraday.
Para analis mencatat bahwa pasar sangat rentan terhadap gangguan pasokan dari kawasan Teluk Persia. Selat Hormuz dilalui sekitar 18 hingga 20 juta barel minyak per hari, menjadikannya jalur perdagangan minyak tersibuk di dunia. Analis energi dari Deutsche Bank menilai bahwa jika Iran menutup jalur ini, harga minyak bisa naik drastis dalam hitungan hari.
Prediksi Dampak Ekonomi: Inflasi hingga Resesi Global
Kenaikan harga minyak bukan sekadar gejolak pasar. Dampaknya merembet ke seluruh lini ekonomi global, terutama melalui jalur inflasi. Menurut analisis World Bank dan Bloomberg Economics, setiap kenaikan 10% pada harga minyak bisa menambah sekitar 0,4% pada tingkat inflasi global tahunan.
Hal ini diperparah dengan tekanan pada sektor pangan, transportasi, dan industri yang bergantung pada energi fosil. Jika harga minyak mencapai ambang kritis, yaitu di atas 120 dolar AS per barel, maka potensi resesi global semakin besar. Bahkan, skenario terburuk memperkirakan pertumbuhan global bisa turun lebih dari 1,5% jika konflik berlangsung lebih dari tiga bulan.
Ancaman Krisis Energi Dunia Kembali Menguat
World Bank dalam laporan terbarunya menyebut bahwa krisis energi global sangat mungkin terjadi jika pasokan minyak terganggu secara signifikan. Tidak hanya negara-negara importir minyak yang akan terdampak, tetapi juga negara berkembang yang paling rentan terhadap lonjakan biaya impor dan subsidi energi.
Beberapa negara di Asia dan Afrika, yang bergantung pada impor dari kawasan Teluk, sudah mulai mencari alternatif sumber pasokan. Namun, ketergantungan pada Selat Hormuz menjadikan banyak negara tidak memiliki opsi cepat untuk menghindari dampak eskalasi ini.
Bisa Picu Perang Dunia III?
Kekhawatiran publik dan sebagian analis geopolitik menyebut bahwa konflik antara Iran dan Israel bisa berkembang menjadi pemicu Perang Dunia Ketiga. Namun, sebagian besar analis militer AS menyatakan bahwa kemungkinan tersebut masih sangat kecil, setidaknya dalam jangka pendek.
Konflik saat ini masih berada dalam ruang lingkup regional. Meski demikian, keterlibatan kekuatan besar seperti Amerika Serikat di sisi Israel dan Rusia atau China sebagai mitra Iran dapat memperbesar risiko jika salah satu pihak melampaui batas strategis. RAND Corporation dalam laporannya menyebut bahwa Perang Dunia bisa saja terjadi dalam skenario ekstrem, namun masih jauh dari realitas dalam waktu dekat.
Dunia di Ambang Krisis, Tapi Masih Bisa Dicegah
Perang antara Iran dan Israel saat ini telah berdampak nyata terhadap lonjakan harga minyak global. Eskalasi konflik membawa risiko besar terhadap inflasi, pasokan energi, dan stabilitas ekonomi dunia. Meski potensi Perang Dunia III dinilai masih rendah, krisis global dalam bentuk resesi energi bisa saja terjadi jika konflik tidak diredam.
Diplomasi internasional, tekanan dari Dewan Keamanan PBB, serta peran negara-negara besar menjadi kunci untuk menghindari krisis yang lebih dalam. Dunia berharap, tensi geopolitik ini segera mereda sebelum dampaknya tak lagi terbendung.
(*)