Jakarta - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kembali mengguncang industri media Indonesia pada tahun 2025, menimbulkan kekhawatiran serius terhadap masa depan jurnalisme nasional. Dewan Pers mencatat, sepanjang 2023 hingga 2024, setidaknya 1.200 pekerja media telah kehilangan pekerjaan mereka. Situasi ini mencerminkan krisis struktural yang tak hanya menyentuh aspek ketenagakerjaan, tetapi juga mengancam pilar utama demokrasi: kebebasan pers dan akses publik terhadap informasi berkualitas.
Kondisi ini diperparah oleh dominasi platform digital global yang menguasai sekitar 75 persen pangsa pasar iklan nasional. Akibatnya, banyak media lokal kehilangan sumber pendapatan utama dan terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran. PHK pun menjadi langkah terakhir yang diambil berbagai perusahaan media besar, termasuk Kompas TV, CNN Indonesia TV, TvOne, dan Emtek, dengan jumlah pemangkasan karyawan mencapai ratusan orang.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Ketua Dewan Pers periode 2025–2028, menyampaikan bahwa kondisi ini menjadi sinyal serius bagi masa depan ekosistem informasi di Indonesia. Ia menekankan pentingnya regulasi dan kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil dalam menciptakan model bisnis media yang lebih berkelanjutan. “Jika tidak ditangani dengan bijak, PHK massal ini bisa melemahkan fungsi media sebagai penjaga demokrasi,” ujarnya.
Sementara itu, Abdul Manan, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers 2025–2028, menyebut bahwa banyak perusahaan media bahkan tidak melaporkan PHK yang terjadi. Hal ini menyulitkan upaya pendataan dan perlindungan terhadap hak-hak pekerja media. “Kita menghadapi darurat jurnalisme jika masalah ini terus diabaikan,” kata Manan.
Dampak dari krisis ini terasa di ruang redaksi. Jumlah jurnalis yang terbatas menyebabkan liputan menjadi dangkal dan cenderung homogen. Kualitas verifikasi dan keberimbangan informasi pun terancam. Tanpa sumber daya manusia yang memadai, media tak bisa menjalankan fungsi kontrol sosialnya secara optimal.
Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Khusus Jakarta bahkan menyebut fenomena ini sebagai krisis industri yang bisa merusak ekosistem informasi. Mereka mendesak agar ada langkah konkret dari regulator untuk memberikan perlindungan hukum dan insentif bagi media yang berkomitmen menjaga kualitas jurnalistik.
Menanggapi situasi ini, Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menyatakan bahwa pemerintah terus membuka ruang dialog dengan pekerja media. Ia berkomitmen menyusun langkah strategis bersama guna menyelamatkan jurnalisme dari tekanan ekonomi dan disrupsi digital yang kian masif.
PHK massal di industri media tidak hanya soal kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan suara publik yang independen. Jika media melemah, maka demokrasi pun kehilangan taringnya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif untuk menjaga keberlangsungan jurnalisme sebagai fondasi kebebasan dan kebenaran di tengah arus informasi yang kian bias dan banal. ***