• 12 Jul, 2025

Profil H. Muhammad Lukminto dan Perjalanan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dari Kejayaan hingga Pailit

Profil H. Muhammad Lukminto dan Perjalanan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dari Kejayaan hingga Pailit

Mengenal H. Muhammad Lukminto, pendiri Sritex, perjalanan perusahaan tekstil besar Indonesia, tantangan PHK massal, kasus korupsi, hingga pailit tahun 2025.

Sosok Pendiri Sritex, H. Muhammad Lukminto

H. Muhammad Lukminto (lahir Ie Djie Shien, 1 Juni 1946 – wafat 5 Februari 2014) adalah seorang pengusaha tekstil asal Indonesia yang dikenal luas sebagai pendiri dan tokoh di balik kesuksesan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Kariernya mencerminkan perjalanan wirausaha dari nol, dimulai dari kios kecil di pasar hingga membangun konglomerasi tekstil berskala internasional.

Awal Perjalanan dan Semangat Wirausaha

Lukminto lahir di Surakarta, Jawa Tengah, dari keluarga Tionghoa. Sejak usia muda, ia telah menunjukkan bakat dagang dan ketekunan dalam bekerja. Tahun 1966 menjadi tonggak awal perjalanannya di dunia tekstil, ketika ia mulai berdagang kain di Pasar Klewer, sebuah pusat perdagangan tekstil tradisional di Surakarta. Dua tahun berselang, pada 1968, ia mendirikan sebuah usaha kecil bernama UD Sri Rejeki Isman di Sukoharjo. Usaha tersebut kelak tumbuh menjadi pilar utama industri tekstil nasional.

Transformasi Menjadi Raksasa Tekstil

Dengan visi jangka panjang, Lukminto membawa Sritex melewati berbagai fase transformasi industri. Tahun 1982, ia membangun pabrik penenunan, kemudian pada 1992 memperluasnya menjadi unit industri tekstil terpadu. Perusahaan tersebut memiliki lini usaha yang mencakup proses pemintalan (spinning), penenunan (weaving), penyelesaian (finishing), hingga konfeksi garmen (garment). Integrasi ini menjadikan Sritex sebagai perusahaan tekstil terintegrasi secara vertikal, sesuatu yang jarang dimiliki perusahaan tekstil lain di Indonesia pada masa itu.

Salah satu pencapaian monumental terjadi pada tahun 1994, ketika Sritex berhasil meraih sertifikat dari Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), membuka jalan untuk memproduksi pakaian militer bagi negara-negara anggotanya. Sejak saat itu, Sritex menjadi pemasok pakaian militer untuk lebih dari 33 negara di dunia.

Go Public dan Puncak Kesuksesan

Langkah besar lainnya adalah ketika Sritex resmi melantai di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2013 dengan kode saham SRIL. Momen ini menandai babak baru dalam sejarah perusahaan. Pada tahun 2012, sebelum go public, Sritex mencatatkan laba sebesar Rp229 miliar, mengalami kenaikan signifikan dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp161 miliar. Pencapaian ini semakin mengukuhkan posisi Sritex sebagai pemimpin industri tekstil di kawasan.

Kehidupan Pribadi dan Keislaman

Dalam kehidupan pribadinya, Lukminto dikenal sebagai sosok yang sederhana, religius, dan berdedikasi pada keluarga. Ia menikah dengan Susyana dan dikaruniai lima orang anak, termasuk Iwan Setiawan Lukminto yang kemudian melanjutkan kepemimpinan Sritex. Pada tahun 1995, ia memutuskan untuk menjadi seorang mualaf, suatu keputusan yang ia ambil secara pribadi dan spiritual.

Lukminto wafat pada 5 Februari 2014 di Singapura karena sakit yang dideritanya. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, tak hanya bagi keluarga dan karyawan Sritex, tetapi juga bagi dunia industri Indonesia yang kehilangan salah satu tokoh pentingnya.

Tantangan Berat dan Akhir Perjalanan Sritex

Warisan Lukminto tidak hanya dalam bentuk perusahaan, tetapi juga dalam nilai-nilai kerja keras dan inovasi yang ia tanamkan. Setelah wafatnya, tongkat estafet kepemimpinan Sritex dipegang oleh Iwan Setiawan Lukminto. Namun, beberapa tahun terakhir, perusahaan menghadapi tantangan berat akibat persaingan global, tekanan finansial, dan perubahan pasar.

Salah satu dampak nyata adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang terjadi dalam beberapa gelombang, menimpa ribuan pekerja pabrik. Hal ini menjadi sorotan publik karena menyentuh aspek sosial dan ekonomi di kawasan industri, memicu kekhawatiran atas masa depan tenaga kerja di sektor tekstil nasional.

Selain itu, Sritex juga sempat terseret dalam isu hukum, di mana terdapat laporan terkait kasus korupsi yang melibatkan sejumlah oknum dalam perusahaan. Kasus ini memperburuk kondisi kepercayaan investor dan mitra bisnis, sekaligus menambah tekanan terhadap kinerja perusahaan.

Pailit dan Penutupan Operasional

Puncak dari rentetan masalah yang menimpa Sritex adalah putusan pengadilan niaga Semarang pada 1 Maret 2025 yang menyatakan perusahaan resmi pailit. Beban utang yang membengkak hingga mencapai USD 1,6 miliar, diperparah oleh dampak pandemi COVID-19 yang secara signifikan melemahkan permintaan tekstil di pasar global, menjadi penyebab utama kegagalan tersebut.

Penutupan operasional Sritex menandai berakhirnya perjalanan sebuah raksasa tekstil Indonesia yang pernah berjaya, sekaligus menjadi pelajaran berharga tentang dinamika bisnis, pengelolaan perusahaan, dan ketahanan industri nasional di tengah tantangan global.

(*)

Redaksi MGN

Redaksi MGN

Redaksi Grahanusantara.ID (Media Graha Nusantara [MGN]) adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.