Apakah Kasus Tom Lembong Menjadi Preseden Baru Penegakan Hukum di Indonesia?
Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi menuai perhatian luas. Apakah ini pertanda supremasi hukum yang konsisten atau bentuk tebang pilih?
Reza Pahlavi kembali mencuat di tengah memanasnya konflik Iran-Israel. Mungkinkah AS dan Israel menyiapkan Reza sebagai pemimpin baru Iran demi kepentingan global? Simak investigasinya.
Jakarta - Ketika misil diluncurkan dan diplomasi gagal meredam konflik antara Iran dan Israel, dunia bukan hanya mencermati pergerakan militer. Nama Reza Pahlavi, mantan Putra Mahkota Iran, mendadak kembali muncul di berbagai forum internasional dan media sosial. Apakah ini sekadar nostalgia terhadap masa lalu, atau bagian dari skenario besar yang sedang disusun oleh kekuatan global?
Konflik Timur Tengah selalu melibatkan lebih dari dua aktor utama. Di balik layar, diplomasi Amerika Serikat dan jaringan strategis Israel memainkan peran penting. Pertanyaannya, apakah kemunculan Reza saat ini merupakan kebetulan sejarah, atau bagian dari langkah sistematis untuk mengatur ulang kekuasaan di Iran?
Di saat rudal meluncur dari kedua arah dan perundingan diplomatik buntu, muncul suara dari luar negeri yang memancing perhatian: Reza Pahlavi. Anak mendiang Shah Iran ini menyuarakan pentingnya transisi damai menuju demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia di Iran. Ucapannya terasa berbeda dari kebisingan perang, namun justru karena itulah menarik sorotan.
Reza, yang tinggal di Amerika Serikat sejak pengasingan keluarganya pada 1979, kini kembali tampil dalam wawancara internasional. Ia menyerukan pembentukan pemerintahan sekuler yang bebas dari pengaruh agama dan otoritarianisme. “Saya tidak mencari kekuasaan pribadi,” ujarnya, “Saya hanya ingin membantu rakyat saya menentukan nasibnya sendiri.”
Kembalinya Reza ke panggung opini publik ini bukan hanya didorong oleh krisis, tapi juga oleh ketidakpuasan masyarakat Iran terhadap pemimpin mereka. Di tengah represi, inflasi, dan isolasi global, masyarakat Iran—khususnya generasi muda—menjadi semakin terbuka terhadap alternatif yang sebelumnya dianggap tabu: monarki.
Nama Reza Pahlavi mungkin asing bagi generasi baru, tetapi ia menyimpan sejarah panjang yang tak terputus dari masa lalu Iran. Sebagai Putra Mahkota sebelum Revolusi 1979, Reza sempat dipersiapkan menggantikan ayahnya. Namun, sejarah berkata lain. Revolusi Islam menggulingkan dinasti Pahlavi, dan Reza menghabiskan sebagian besar hidupnya di pengasingan, menyuarakan reformasi dari luar negeri.
Selama tiga dekade lebih, Reza membangun jaringan politik, media, dan dukungan masyarakat diaspora Iran di AS, Eropa, hingga Australia. Ia mendirikan National Council of Iran, organisasi oposisi yang mengklaim mewakili aspirasi rakyat Iran dalam upaya menuju pemerintahan demokratis. Meskipun tidak diakui resmi oleh komunitas internasional, ia rutin diundang dalam forum-forum strategis dunia.
Namun tantangan Reza tidak kecil. Banyak pihak dalam dan luar negeri mempertanyakan legitimasi serta kapasitas kepemimpinannya. Ia harus berjuang menepis anggapan sebagai pewaris otoriterisme lama, sambil memperjuangkan visi demokratis yang inklusif. Di sinilah posisinya menjadi unik: ia simbol kontinuitas sejarah, tapi juga agen perubahan yang mencoba menyesuaikan diri dengan zaman.
Kemunculan Reza Pahlavi tak bisa dilepaskan dari hubungan eratnya dengan Washington. Dalam berbagai wawancara, ia kerap memuji kebijakan “maximum pressure” yang dijalankan oleh Presiden Donald Trump terhadap Iran. Ia juga mengkritik pendekatan yang lebih lunak dari Presiden Joe Biden, khususnya dalam konteks perundingan nuklir. “Kompromi hanya memperkuat para penindas di Teheran,” ujar Reza dalam kolom opini The Washington Post.
Namun yang menarik, Reza tidak menyerukan intervensi militer langsung. Ia justru menekankan bahwa perubahan sejati harus datang dari dalam, bukan dikendalikan kekuatan asing. Pendekatan ini menunjukkan upaya Reza menyeimbangkan antara kedekatan diplomatik dengan AS dan sensitivitas nasionalisme rakyat Iran.
Kedekatan Reza dengan jaringan think tank, media, dan tokoh-tokoh konservatif di Washington telah membuatnya memiliki panggung yang tidak dimiliki oposisi Iran lainnya. Namun, ini juga membuka celah bagi kritik bahwa ia terlalu bergantung pada narasi dan dukungan Barat—sebuah stigma yang bisa dimanfaatkan lawan-lawannya di dalam negeri.
Ketika membicarakan strategi politik di Timur Tengah, sulit mengabaikan peran AS dan Israel sebagai sekutu strategis. Kedua negara ini memiliki kepentingan bersama untuk membatasi pengaruh Iran, terutama terkait isu nuklir dan dukungan terhadap kelompok-kelompok militan. Hubungan ini semakin erat sejak era Trump, yang memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem dan menarik diri dari perjanjian nuklir Iran (JCPOA).
Dalam konteks operasi militer terbaru yang disebut “Operation Rising Lion”, banyak pengamat menilai ini bukan sekadar aksi defensif. Israel diduga ingin mengirim pesan kuat kepada Iran dan sekaligus membuka celah untuk skenario perubahan rezim. Dukungan Amerika terhadap operasi ini—baik secara intelijen maupun logistik—mendukung asumsi bahwa ada desain geopolitik lebih besar yang sedang dimainkan.
Kebersamaan strategi antara AS dan Israel memberi sinyal bahwa tekanan terhadap Iran tidak akan surut dalam waktu dekat. Dan jika perubahan rezim menjadi kenyataan, maka Reza Pahlavi, yang dikenal bersahabat dengan kedua negara ini, bisa jadi figur transisi yang dianggap “aman” bagi kepentingan Barat.
Tuduhan bahwa Reza Pahlavi adalah proyek Barat bukan hal baru. Di media sosial, ia kerap disebut sebagai “raja boneka” atau “agen asing.” Isu ini mencuat seiring dengan kemunculannya di forum-forum internasional dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh konservatif AS. Namun apakah benar ada skenario terstruktur yang menempatkannya sebagai calon penguasa Iran?
Faktanya, hingga kini belum ada dokumen atau pernyataan resmi dari Washington maupun Tel Aviv yang mendukung Reza secara eksplisit. Bahkan dalam berbagai kesempatan, Reza menegaskan tidak ingin menjadi raja absolut dan hanya ingin menjadi jembatan transisi menuju demokrasi. Ia bahkan menyusun Iran Prosperity Project, sebuah cetak biru ekonomi pasca-rezim Islam.
Namun persepsi tetaplah penting. Sekalipun ia tidak didukung resmi, kenyataan bahwa ia kerap muncul saat konflik memuncak menimbulkan kecurigaan. Apalagi bila perubahan rezim di Iran berlangsung tiba-tiba, nama Reza nyaris pasti masuk dalam daftar kandidat transisi kekuasaan, entah secara resmi maupun simbolik.
Pandangan publik terhadap Reza Pahlavi terbagi dua. Di satu sisi, ia dilihat sebagai simbol harapan baru oleh mereka yang mendambakan kebebasan berpendapat dan keterbukaan ekonomi. Sebagian besar generasi muda Iran, terutama yang aktif di dunia maya dan diaspora, menilai Reza sebagai tokoh paling rasional dibanding para ulama konservatif.
Namun di sisi lain, ia dianggap tidak memahami kondisi rakyat miskin di Iran dan terlalu dekat dengan elit Barat. Tuduhan bahwa ia ingin “menjual Iran” ke tangan asing menjadi narasi kuat yang digunakan oleh pihak pro-rezim. Bagi sebagian besar warga Iran yang mengalami trauma Revolusi 1979, wacana kembalinya monarki terasa seperti mimpi buruk yang dibungkus janji manis.
Persepsi ini menunjukkan betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi Reza. Untuk meyakinkan rakyat Iran, ia harus bukan hanya menawarkan program, tapi juga membuktikan bahwa dirinya tidak dikendalikan oleh kepentingan asing. Sebuah misi sulit, namun bukan tidak mungkin jika dibarengi dengan gerakan akar rumput yang organik.
Kembalinya Reza Pahlavi ke percakapan politik dunia bukanlah kebetulan. Di tengah krisis geopolitik, sosok lama seperti dirinya bisa menjadi simbol stabilitas atau justru alat kekuatan asing. Banyak yang menilai kehadirannya sebagai bagian dari upaya AS dan Israel menyusun ulang peta kekuasaan Timur Tengah.
Namun masa depan Iran bukan hanya soal siapa yang memimpin, tetapi bagaimana sistem politik dan ekonomi yang dibangun. Apakah Reza bisa menjadi jembatan menuju demokrasi, atau hanya pengulangan sejarah yang disamarkan? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh rakyat Iran sendiri—yang telah lama menanti perubahan sejati.
(*)
Redaksi Grahanusantara.ID (Media Graha Nusantara [MGN]) adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.
Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi menuai perhatian luas. Apakah ini pertanda supremasi hukum yang konsisten atau bentuk tebang pilih?
Hubungan Prabowo dan PDIP makin erat usai pertemuan elite Gerindra dengan Megawati. Apakah ini sinyal PDIP akan dukung pemerintahan Prabowo? Simak analisis lengkap soal KIM Plus, koalisi batin, dan arah politik nasional ke depan.
AS-Israel kembali gunakan narasi ancaman nuklir, kini diarahkan ke Iran. Benarkah ini propaganda baru yang ulangi kebohongan senjata pemusnah massal Irak 2003? Simak analisis mendalam tentang motif tersembunyi dan skenario geopolitik yang sedang dimainkan.