Teheran – Di tengah ketegangan geopolitik kawasan dan konflik Iran–Israel yang kembali memanas, nama Reza Pahlavi, putra mahkota terakhir Kekaisaran Iran, kembali mencuat ke permukaan. Ia tidak hanya hadir sebagai simbol nostalgia monarki, tapi juga menawarkan diri sebagai pemimpin transisi menggantikan Ayatollah Ali Khamenei. Narasi perubahan rezim yang ia bawa disambut antusias oleh diaspora Iran dan sebagian warga dalam negeri, namun menimbulkan pertanyaan besar: apakah trauma sejarah kelam rezim Shah sudah cukup dilupakan?
Masa Kelam Kekaisaran Pahlavi: Represi dan Ketimpangan di Balik Modernisasi
Kekuasaan Mohammad Reza Pahlavi, Shah terakhir Iran yang berkuasa dari 1941 hingga 1979, dikenal sebagai masa modernisasi besar-besaran. Namun, di balik pencitraan Iran sebagai negara sekuler dan maju, tersembunyi praktik represif dan ketimpangan sosial yang memicu ketidakpuasan rakyat.
Salah satu simbol represi paling terkenal adalah SAVAK (Sazman-e Ettela'at va Amniyat-e Keshvar), badan intelijen rahasia yang didirikan pada 1957. Lembaga ini dikenal luas karena aksi penyiksaan, penghilangan paksa, hingga pembunuhan terhadap lawan politik. Menurut catatan Federation of American Scientists, SAVAK memiliki hingga 6.000 agen pada puncaknya, dan bertanggung jawab atas penangkapan serta penyiksaan ribuan aktivis, ulama, dan intelektual.
Demonstrasi yang menentang pemerintahan Shah kerap dibalas dengan kekerasan brutal. Peristiwa "Jumat Hitam" pada 8 September 1978 menjadi titik balik revolusi, ketika militer menembaki ribuan demonstran di Jaleh Square, Teheran. Ratusan orang tewas dalam satu hari, menandai kehancuran kredibilitas kekuasaan Shah di mata rakyatnya.
Ketimpangan Ekonomi dan Westernisasi Paksa
Meski Iran mengalami pertumbuhan ekonomi signifikan akibat ekspor minyak, kesenjangan ekonomi justru melebar. Modernisasi yang diklaim membawa kesejahteraan hanya dirasakan elit istana dan pengusaha besar, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kesulitan. Pemogokan buruh dan kelangkaan pasokan energi memperparah krisis menjelang akhir dekade 1970-an.
Kebijakan westernisasi kultural pun memicu resistensi luas dari masyarakat konservatif dan kalangan ulama. Shah menghapus subsidi untuk sekolah agama, menggencarkan sekularisasi pendidikan, serta memaksakan gaya hidup Barat yang bertentangan dengan nilai Islam yang mengakar kuat di Iran. Bagi banyak rakyat, transformasi ini terasa seperti pemaksaan identitas asing, bukan kemajuan.
Reza Pahlavi: Putra Mahkota di Pengasingan dan Ambisi Demokratis
Reza Pahlavi, lahir pada 1960 dan ditunjuk sebagai putra mahkota pada 1967, meninggalkan Iran bersama keluarganya saat Revolusi Islam 1979 pecah. Sejak itu, ia hidup di pengasingan dan aktif membangun jaringan dengan oposisi Iran di luar negeri.
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak 2022, Reza Pahlavi semakin lantang menyerukan perubahan rezim. Ia mengklaim tidak menginginkan kembalinya sistem monarki absolut, melainkan memosisikan dirinya sebagai fasilitator transisi menuju sistem demokrasi di Iran.
Dalam wawancaranya dengan berbagai media internasional, termasuk Reuters dan The Sun, Reza menyatakan:
“Regime change is the only solution in Iran.”
“This is our Berlin moment.”
Reza menyamakan situasi politik Iran saat ini dengan masa menjelang runtuhnya Tembok Berlin. Ia menyebut sistem Republik Islam sebagai kediktatoran brutal yang harus segera diakhiri.
Visi Transisi: 100 Hari dan Referendum
Pada 2025, Reza Pahlavi meluncurkan Iran Prosperity Project (IPP), cetak biru ekonomi dan politik untuk Iran pasca-rezim. Ia menawarkan rencana 100 hari transisi yang mencakup: pembentukan pemerintahan sementara, pemulihan layanan dasar, dan pelaksanaan referendum rakyat untuk menentukan sistem pemerintahan baru.
Dalam forum di Jenewa, ia berkata:
“The regime has turned Iran into hell. Doctors, engineers, scholars — all silenced or killed. We want to rebuild our nation with dignity.”
Ia menegaskan komitmennya terhadap pemilu bebas, hak asasi manusia, dan rekonsiliasi nasional. Reza juga menolak narasi kembalinya sistem kerajaan tradisional, menyatakan bahwa bentuk negara—monarki konstitusional atau republik—akan ditentukan sepenuhnya oleh rakyat Iran.
Dukungan dan Tantangan: Mampukah Reza Pahlavi Ubah Arah Sejarah?
Sejumlah survei diaspora Iran menunjukkan bahwa hingga 80 persen responden mendukung transisi menuju sistem demokratis tanpa ulama sebagai pemimpin tertinggi. Di berbagai kota besar Iran, nama Reza Pahlavi terdengar dalam unjuk rasa, mural, dan media sosial, meski masih dilarang keras oleh rezim.
Namun, tantangannya besar. Republik Islam masih memegang kendali penuh atas kekuatan militer, intelijen, dan media nasional. Tak hanya itu, ingatan publik terhadap represi era Shah masih hidup dalam narasi resmi negara. Bagi sebagian kalangan, meski kecewa pada rezim saat ini, bayang-bayang kekuasaan Pahlavi tetap membawa trauma.
Meski demikian, Reza menegaskan:
“I am not a king, I am a citizen. I am here to serve, not to rule.”
Pernyataannya itu dimaksudkan untuk meredam kekhawatiran bahwa ia akan memaksakan kembalinya dinasti keluarga. Alih-alih, ia mengajak rakyat Iran untuk memulihkan martabat dan kemerdekaan mereka lewat cara damai dan konstitusional.
Kembalinya Reza Pahlavi ke percakapan politik internasional menandai fase baru dalam dinamika Iran. Ia tampil bukan hanya sebagai putra mahkota masa lalu, tapi sebagai simbol harapan bagi sebagian rakyat Iran yang mendambakan akhir dari tirani. Namun, masa lalu keluarganya tetap menjadi beban sejarah yang tak mudah dihapus.
Mampukah Reza menembus dinding warisan kelam dan membawa Iran ke arah demokrasi yang sejati? Ataukah ia sekadar figur nostalgia di tengah krisis? Jawabannya akan ditentukan oleh rakyat Iran sendiri—melalui pilihan bebas yang selama ini dikebiri oleh sistem.
(*)