Jakarta - Singapura selama dua dekade terakhir dikenal sebagai "zona nyaman" bagi pelarian koruptor Indonesia. Negara kota yang modern, teratur, dan terletak sangat dekat dengan Indonesia ini tercatat sebagai destinasi utama buronan kasus korupsi yang ingin menghindari jerat hukum. Namun, situasi tersebut kini mulai berubah. Pemberlakuan resmi perjanjian ekstradisi pada Maret 2024 menandai babak baru dalam kerja sama hukum antara Indonesia dan Singapura.
Puluhan Koruptor Pilih Singapura Sebagai Tempat Persembunyian
Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa dari 45 buronan kasus korupsi, sedikitnya 26 orang di antaranya memilih Singapura sebagai tempat pelarian. Nama-nama seperti Harun Masiku, Nunun Nurbaeti, hingga Adelin Lis sempat dikaitkan dengan keberadaan di negeri singa tersebut. Akses mudah, kehidupan yang nyaman, serta celah hukum kala itu membuat Singapura menjadi destinasi pelarian yang strategis.
Sistem keuangan Singapura yang kuat dan bersifat tertutup juga dinilai cocok untuk menyembunyikan aliran dana hasil tindak pidana korupsi. Sebelum 2024, absennya perjanjian ekstradisi aktif antara kedua negara memperbesar peluang para koruptor untuk lolos dari jeratan hukum Indonesia.
Tonggak Perubahan: Kasus Paulus Tannos
Perubahan besar mulai terlihat saat pemerintah Indonesia berhasil menjalin kerja sama ekstradisi yang lebih konkret. Pada 17 Januari 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Polisi Singapura (CPIB) mengamankan Paulus Tannos, tersangka kasus korupsi proyek e-KTP senilai Rp 2,3 triliun. Penangkapan ini menjadi simbol bahwa Singapura kini tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi koruptor.
Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap menyatakan, “Penangkapan Paulus Tannos adalah bukti konkret bahwa Singapura sudah berubah. Negara itu tidak lagi memberikan perlindungan implisit kepada pelaku korupsi.” Pernyataan ini memperkuat anggapan bahwa perjanjian ekstradisi antara kedua negara mulai menunjukkan dampak nyata dalam membatasi ruang gerak pelarian koruptor.
Perjanjian Ekstradisi: Dari Gagasan Lama ke Implementasi Nyata
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura sebenarnya telah ditandatangani pada tahun 2007, namun butuh waktu hingga 21 Maret 2024 untuk benar-benar diimplementasikan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2023 meratifikasi kerja sama ini, mencakup 31 jenis tindak pidana berat, termasuk korupsi, dan berlaku surut hingga 18 tahun ke belakang.
Dengan diberlakukannya perjanjian tersebut, Indonesia kini memiliki dasar hukum kuat untuk menindak para buronan yang bersembunyi di Singapura. Selain itu, kerja sama ini juga memperkuat upaya pemerintah dalam memulihkan kerugian negara dan menegakkan keadilan.
Mengapa Singapura Pernah Menjadi Tempat Aman?
Ada beberapa faktor utama yang menjadikan Singapura sebagai destinasi favorit pelarian koruptor Indonesia:
- Dekat dan mudah diakses – Jarak tempuh dari Jakarta ke Singapura hanya sekitar dua jam penerbangan.
- Sistem hukum yang ketat namun tidak terikat ekstradisi – Hingga 2024, ketiadaan perjanjian ekstradisi aktif menciptakan celah hukum.
- Kehidupan mewah dan stabilitas tinggi – Singapura menawarkan gaya hidup kelas atas dengan privasi yang terjaga.
- Kemampuan finansial dan infrastruktur legal – Sistem perbankan Singapura memungkinkan penyimpanan dana dalam kerahasiaan tinggi.
Efek Jera dan Perubahan Persepsi
Keberhasilan penangkapan Tannos memunculkan harapan baru. Banyak pengamat menilai bahwa kasus ini akan menimbulkan efek jera bagi pelarian kasus korupsi lain. “Setelah Singapura, para buron tidak akan lagi merasa aman. Negara-negara lain bisa mengikuti langkah ini,” kata Yudi Purnomo.
KPK, Kejaksaan, dan Polri juga terus meningkatkan kerja sama internasional dengan lembaga antikorupsi di negara lain, serta memperkuat diplomasi hukum lewat interpol dan Mutual Legal Assistance Treaty (MLAT).
Negara Lain yang Masuk Radar Pelarian
Selain Singapura, beberapa negara lain juga menjadi destinasi pelarian para koruptor Indonesia:
- Hong Kong
- Amerika Serikat
- Tiongkok
- Australia
Namun dibandingkan negara-negara tersebut, Singapura tetap mencatat jumlah pelarian terbanyak dan paling menonjol dalam pemberitaan.
(*)