• 12 Jul, 2025

Skandal Korupsi 2024–2025: Mengapa Proses Hukumnya Lambat & Penuh Drama?

Skandal Korupsi 2024–2025: Mengapa Proses Hukumnya Lambat & Penuh Drama?

Kenali kasus korupsi besar 2024–2025. Bongkar drama hukum, tarik-ulur politik, dan efeknya pada kepercayaan publik.

Jakarta - Dalam kurun waktu 2024 hingga pertengahan 2025, Indonesia menghadapi gelombang kasus besar mulai dari korupsi tambang timah, impor gula, pengadaan laptop Chromebook, hingga kasus lama seperti Asabri, Jiwasraya, dan E-KTP. Namun, alih-alih menjadi bukti ketegasan pemberantasan korupsi, proses hukum atas kasus-kasus ini memunculkan kesan lamban, penuh drama, dan rawan tarik-ulur politik.

Publik bukan hanya bertanya-tanya, tapi mulai kehilangan harapan. Narasumber dari kalangan pejabat hukum, akademisi, hingga pengamat independen ikut menyoroti betapa lemahnya komitmen negara dalam menuntaskan perkara.

Lambatnya Proses Hukum Kasus Tambang Timah

Kasus korupsi tambang timah menyeret nama Harvey Moeis dan Helena Lim. Harvey sebelumnya divonis 6,5 tahun penjara, tapi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya menjadi 20 tahun. Helena Lim dijatuhi 10 tahun penjara.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Kuntadi, menjelaskan bahwa Harvey adalah perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) yang mengakomodasi tambang ilegal di wilayah PT Timah. Kegiatan ini dikemas seolah-olah sebagai kerja sama sewa peralatan, padahal di baliknya ada skema besar yang merugikan negara. Meski ada vonis, masyarakat sempat skeptis karena proses penyidikan memakan waktu panjang dan penuh tarik-ulur.

Kasus Impor Gula: Antara Nota Keberatan dan Kerugian Negara

Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, didakwa dalam kasus impor gula tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian. Jaksa menilai Tom menerbitkan 21 persetujuan impor untuk perusahaan swasta, padahal sesuai aturan hanya BUMN yang boleh mengimpor gula kristal putih.

Namun, dalam persidangan, saksi dari Kementerian Perdagangan, Muhammad Yany, menegaskan bahwa impor gula mentah kala itu merupakan keputusan logis karena di pasar internasional hanya dikenal istilah gula mentah dan gula rafinasi, bukan gula kristal putih. Tim kuasa hukum Tom juga berpegang pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut tidak ada kerugian negara. Meski demikian, majelis hakim menolak nota keberatan Tom, dan publik melihat kasus ini sarat drama hukum.

Skandal Chromebook: Investigasi Jalan di Tempat

Kasus pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi sorotan tajam. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyebut ada dugaan konspirasi besar dalam proyek ini. Hingga kini, sudah ada 28 saksi yang diperiksa, termasuk dua staf khusus eks Menteri Nadiem Makarim.

Namun, publik bertanya-tanya: kenapa hingga pertengahan 2025 belum juga ada penetapan tersangka? Padahal, laporan audit menyebut ada masalah spesifikasi barang, ketergantungan pada koneksi internet yang tidak merata di daerah, dan dugaan penggelembungan harga.

Kasus Lama yang Tak Kunjung Tuntas: Asabri, Jiwasraya, E-KTP

Kasus Asabri merugikan negara Rp22,78 triliun, sementara Jiwasraya menelan kerugian belasan triliun. Beberapa terdakwa sudah divonis penjara seumur hidup. Namun, menurut pengamat hukum Prof. Topo Santoso, hukuman ini belum menyentuh semua pihak yang seharusnya bertanggung jawab.

“Rakyat butuh penyelesaian yang tuntas, bukan hanya simbolik,” ujarnya dalam diskusi akademik. Hal serupa juga terjadi pada kasus E-KTP yang sudah bertahun-tahun menggantung, dengan sebagian pihak dinilai belum tersentuh hukum.

Tarik-Ulur Politik dan Apatisme Publik

Menjelang Pemilu dan Pilkada 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan akan menunda penyelidikan terhadap calon kepala daerah demi menjaga stabilitas politik. Kebijakan ini langsung dikritik akademisi hukum seperti Zainal Arifin Mochtar, yang menyebutnya “pengkhianatan terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum.”

Tidak hanya itu, pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset juga absen dalam Program Legislasi Nasional 2025. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Achmad Baidowi, mengakui minimnya dukungan politik karena isu ini dianggap sensitif dan berpotensi menyeret aktor-aktor besar.

Di luar ranah politik, publik mengalami kelelahan psikologis. Direktur Pusat Studi Anti Korupsi UGM, Oce Madril, menyebut lambatnya penyelesaian kasus-kasus besar menimbulkan efek apatisme. “Orang sudah tidak kaget lagi kalau ada kasus besar yang menguap. Itu jauh lebih berbahaya: apatisme,” katanya.

Keadilan yang Menunggu Babak Akhir

Deretan kasus besar sepanjang 2024–2025 sejatinya menjadi cermin rapuhnya penegakan hukum di Indonesia. Lambat, penuh drama, dan rawan tarik-ulur politik—itulah wajah hukum yang kini terpampang di mata publik. Tanpa reformasi mendalam, baik di tingkat regulasi maupun kelembagaan, keadilan hanya akan jadi mimpi yang terus tertunda.

(*)

Redaksi MGN

Redaksi MGN

Redaksi Grahanusantara.ID (Media Graha Nusantara [MGN]) adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.