• 12 Jul, 2025

Tanpa Disadari, Suami Bisa Menyakiti Batin Istri Saat Bercinta, Begini Pandangan Islam dan Psikolog

Tanpa Disadari, Suami Bisa Menyakiti Batin Istri Saat Bercinta, Begini Pandangan Islam dan Psikolog

Tak semua luka terlihat. Istri bisa menderita secara emosional jika tak klimaks. Ini dampaknya menurut Islam & psikologi pernikahan.

Ketidakseimbangan dalam hubungan suami istri tidak selalu terlihat dari pertengkaran atau masalah ekonomi. Dalam banyak kasus, ketimpangan itu tersembunyi di balik pintu kamar tidur, di mana salah satu pihak—sering kali istri—harus menelan kekecewaan karena tidak mencapai puncak kepuasan. Situasi ini bukan hanya menyisakan rasa frustrasi, tetapi juga bisa berdampak pada kondisi emosional yang lebih dalam, bahkan terbawa ke alam mimpi.

Fenomena ini diangkat dalam berbagai platform diskusi daring, salah satunya forum yang menampung curahan hati istri tentang suaminya yang kerap kali selesai lebih dulu. Unggahan tersebut menyedot perhatian karena menggambarkan betapa dalamnya dampak psikologis dari hubungan intim yang timpang. Sang istri mengaku bahwa ia seringkali belum mencapai klimaks, namun suaminya sudah lebih dulu berhenti. Rasanya seperti dikhianati, padahal ini soal kebersamaan dan keintiman, tulisnya dalam forum tersebut.

Kondisi ini bukanlah hal sepele. Dalam literatur Islam klasik, Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali telah menyoroti pentingnya pasangan mencapai klimaks secara bersamaan agar tidak menimbulkan perselisihan. Bahkan, Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menjelaskan, Jika suami orgasme lebih dulu, maka makruh hukumnya untuk segera menghentikan hubungan sebelum istri puas, karena hal itu dapat menimbulkan bahaya baginya dan menghalanginya untuk menuntaskan syahwatnya. Kutipan ini menegaskan bahwa perhatian terhadap kepuasan pasangan bukan sekadar soal etika, tetapi juga tanggung jawab moral dan spiritual.

Dampak Psikologis dan Emosional pada Istri

Ketidakseimbangan dalam kepuasan seksual sering kali menimbulkan dampak psikologis yang cukup serius pada istri. Secara berulang, ketidakpuasan ini bisa berkembang menjadi tekanan batin yang sulit diungkapkan secara langsung. Psikolog klinis Dewi Inong Irana menjelaskan, “Ketidaksesuaian ritme dan prioritas dalam hubungan seksual dapat membuat istri merasa tidak dihargai.” Perasaan tidak dihargai ini bukan hanya sebatas kekecewaan sesaat, tetapi dapat merembet menjadi rasa rendah diri, kecemasan, dan stres yang berkepanjangan.

Ketika kebutuhan emosional dan fisik istri tidak terpenuhi, ia berpotensi mengalami gangguan suasana hati seperti mudah marah, sedih, dan bahkan depresi ringan. Tekanan batin tersebut juga bisa memengaruhi hubungan sosial istri di luar rumah, termasuk dengan keluarga, teman, dan lingkungan kerja. Hal ini terjadi karena emosi negatif yang tidak tersalurkan dengan baik akan menumpuk dan memengaruhi keseharian secara menyeluruh.

Lebih jauh, ketidakpuasan seksual yang terus-menerus sering terbawa hingga ke alam bawah sadar. “Jika ketidakpuasan ini berlangsung lama, bisa muncul gangguan suasana hati, bahkan mengganggu relasi sosial dan mimpi buruk,” jelas Dewi Inong. Mimpi buruk yang muncul akibat tekanan emosional tersebut menunjukkan bahwa masalah dalam hubungan intim tidak hanya bersifat fisik, tapi juga mental dan emosional.

Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengikis ikatan emosional antara suami dan istri, menyebabkan jarak psikologis dan menurunkan kualitas komunikasi dalam rumah tangga. Istri yang merasa frustrasi dan tidak didengarkan bisa mulai menarik diri, yang pada akhirnya menimbulkan konflik dan bahkan berpotensi merusak keharmonisan pernikahan secara menyeluruh.

Oleh karena itu, memahami dampak psikologis ini penting untuk membuka ruang komunikasi yang lebih empatik dan penuh pengertian. Mengatasi ketimpangan kepuasan seksual bukan hanya soal teknik, tapi juga tentang membangun kedekatan emosional yang sehat dan saling menghargai perasaan masing-masing pasangan.

Implikasi terhadap Keharmonisan Rumah Tangga

Dari sisi hubungan pernikahan, penelitian oleh Dra. Tjut Yuniati, M.Si, menunjukkan bahwa kepuasan seksual sangat mempengaruhi kebahagiaan pernikahan. Ketika hanya satu pihak yang merasakan kepuasan, maka ketimpangan ini bisa menjadi benih konflik dan menjauhkan pasangan secara emosional.

Ketidakseimbangan tersebut menciptakan ruang ketegangan yang bisa merusak fondasi emosional hubungan. Istri yang merasa tidak dipedulikan dalam aspek seksual berpotensi menarik diri, menjadi lebih tertutup, atau bahkan menunjukkan gejala penolakan secara fisik maupun psikis terhadap pasangan. Sebaliknya, suami yang tidak menyadari pentingnya kepuasan istri mungkin menganggap hal ini sebagai masalah sepele, padahal dampaknya bisa menyebar ke ranah komunikasi, pengasuhan anak, hingga pengambilan keputusan bersama.

Keharmonisan rumah tangga bukan hanya dibangun di atas cinta dan komitmen, tetapi juga pada rasa saling menghargai dalam seluruh aspek relasi, termasuk seksual. Jika kepuasan ini tidak menjadi perhatian bersama, maka relasi yang semula hangat dapat berubah menjadi renggang, diselingi kesalahpahaman, kekecewaan, bahkan potensi perselingkuhan. Oleh karena itu, kepuasan seksual bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian esensial dari kualitas hidup pernikahan.

Pentingnya Komunikasi dan Edukasi Seksual

Komunikasi terbuka menjadi fondasi utama dalam membangun keharmonisan hubungan suami istri, khususnya dalam ranah seksual. Banyak pasangan mengalami ketegangan dan ketidakpuasan bukan semata karena perbedaan fisik, melainkan kurangnya pemahaman dan dialog yang jujur mengenai kebutuhan dan harapan masing-masing. Seksolog Zoya Amirin menegaskan, Pasangan perlu saling belajar memahami kebutuhan seksual satu sama lain. Bukan sekadar soal waktu, tapi juga perhatian dan empati. Pernyataan ini menunjukkan bahwa seksualitas bukan hanya masalah durasi atau teknik, melainkan juga kualitas interaksi emosional yang melekat di dalamnya.

Edukasi seksual menjadi kunci untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Sering kali, pasangan tidak memiliki wawasan yang cukup tentang tahapan-tahapan dalam respons seksual, mulai dari rangsangan awal, foreplay, puncak kenikmatan, hingga fase resolusi. Foreplay yang cukup, misalnya, dapat membantu meningkatkan gairah dan kesiapan istri secara fisik dan mental agar lebih mudah mencapai klimaks. Selain itu, memahami ritme dan waktu yang ideal bagi masing-masing pihak dapat mengurangi risiko frustrasi dan rasa diabaikan.

Ketika komunikasi dan edukasi seksual berjalan dengan baik, seks tidak lagi menjadi aktivitas fisik semata, melainkan sebuah bentuk komunikasi yang paling intim dan jujur antara dua insan yang saling mencintai. Dalam kondisi seperti ini, pasangan mampu saling menyesuaikan, mendukung, dan memenuhi kebutuhan satu sama lain tanpa rasa takut atau malu.

Sebaliknya, ketika komunikasi ini terputus atau terabaikan, luka emosional dapat tumbuh. Perasaan tidak dipedulikan atau kurang dihargai dalam hubungan seksual bisa meninggalkan bekas yang dalam, yang tidak hanya berpengaruh pada kehidupan sehari-hari tetapi juga bisa terbawa dalam mimpi atau alam bawah sadar. Ini menandakan bahwa ketidakseimbangan kepuasan seksual bukan sekadar masalah fisik, melainkan persoalan psikologis yang membutuhkan perhatian serius.

Oleh karena itu, membangun kesadaran akan pentingnya kepuasan yang setara dalam hubungan suami istri adalah langkah awal yang harus ditempuh. Dialog terbuka, kejujuran, dan edukasi bersama menjadi solusi efektif untuk menciptakan hubungan yang lebih harmonis, memuaskan, dan jauh dari konflik yang berakar dari ketidakpuasan seksual.

(*)

Redaksi MGN

Redaksi MGN

Redaksi Grahanusantara.ID (Media Graha Nusantara [MGN]) adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.