Jakarta - Di tengah ketegangan global yang terus memuncak, perdebatan soal peran Amerika Serikat dan sekutunya dalam menciptakan—atau memperkeruh—stabilitas dunia kembali mengemuka. Dari konflik di Timur Tengah hingga eskalasi di Indo-Pasifik, muncul narasi bahwa satu-satunya jalan menuju perdamaian dunia adalah dengan melemahkan dominasi Amerika Serikat dan sekutunya.
Banyak pihak menilai AS bukan sekadar pengamat, tetapi juga aktor utama dalam perang ekonomi, propaganda politik, dan konfrontasi militer global. Terbaru, dua pemimpin sekutu utama AS—Donald Trump dan Benjamin Netanyahu—menjadi sorotan utama atas kebijakan dan krisis yang mereka timbulkan.
Trump dan Gelombang Pemakzulan Kedua: Resolusi Resmi Sudah Diajukan
Dua resolusi resmi untuk memakzulkan mantan Presiden AS Donald Trump telah diajukan di Kongres oleh anggota legislatif dari Partai Demokrat.
- H.Res.353, diajukan oleh Rep. Shri Thanedar pada 28 April 2025, memuat tuduhan serius mulai dari penyalahgunaan kekuasaan hingga pelanggaran konstitusi.
- H.Res.415, diluncurkan oleh Rep. Al Green pada 16 Mei 2025, menyebut Trump telah melanggar hukum dengan mengabaikan putusan pengadilan dan melemahkan prinsip pemisahan kekuasaan.
Dalam wawancaranya, Green menyatakan:
“Donald Trump, melalui tindakan dan ucapannya, telah menunjukkan ketidakhormatan terhadap supremasi hukum dan membahayakan tatanan demokrasi.”
Tak hanya dari legislator, tekanan publik pun menguat. Kampanye bertajuk "Impeach Trump Again" menggalang lebih dari 500.000 tanda tangan, menunjukkan dorongan akar rumput yang signifikan.
Netanyahu di Ujung Tanduk: Protes, Krisis Militer, hingga Pengunduran Diri Elit Keamanan
Di Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan luar biasa dari dalam negeri. Protes anti-pemerintah berlangsung hampir setiap pekan, sementara Kepala Shin Bet Ronen Bar mengundurkan diri pada 15 Juni 2025. Sebelumnya, Komandan militer IDF juga mundur menyusul krisis 7 Oktober 2023.
Langkah mundurnya elit keamanan menjadi indikator krisis kepercayaan terhadap Netanyahu. Terlebih, Knesset (parlemen Israel) baru-baru ini menolak mosi pembubaran, menandakan kebuntuan politik yang kian dalam.
Menurut laporan The Times of Israel:
“Ronen Bar tidak tahan lagi melihat bagaimana struktur intelijen dimanipulasi demi kepentingan politik Netanyahu.”
Melemahkan AS dan Sekutunya: Jalan Damai atau Utopia?
Pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika dominasi Amerika dan sekutunya berakhir bukanlah hal baru. Namun, kini narasi ini mendapatkan momentum baru, seiring gelombang protes di berbagai negara yang menilai kebijakan luar negeri AS provokatif dan hegemonik.
Beberapa kasus yang memperkuat argumen tersebut antara lain:
- Konflik Iran–Israel, di mana AS dianggap mendanai dan melindungi agresi Israel.
- Blokade ekonomi terhadap Venezuela dan Kuba, yang berdampak besar pada kesejahteraan rakyat sipil.
- Peningkatan tensi militer di Laut China Selatan, di mana kehadiran armada AS memicu balasan dari Tiongkok.
Para pengamat menyebut skenario perdamaian global memerlukan restrukturisasi kekuatan geopolitik, yang tidak hanya didominasi oleh AS dan blok Barat.
Krisis Kepemimpinan atau Awal Perubahan Dunia?
Momen ini bisa menjadi titik balik dunia. Jika Trump benar-benar dimakzulkan dan Netanyahu mundur, dunia mungkin menyaksikan restrukturisasi kekuatan global yang membuka peluang perdamaian baru.
Namun, perubahan sejati bukan hanya soal pergantian tokoh. Dibutuhkan refleksi global tentang bagaimana kekuasaan digunakan dan untuk siapa ia bermanfaat. Dunia tak bisa terus-menerus berada dalam pusaran konflik yang dilanggengkan oleh kekuatan militer, propaganda, dan ketidakadilan ekonomi.
Apakah dunia siap menghadapi tata baru tanpa dominasi Amerika dan sekutunya? Atau justru krisis ini akan melahirkan bentuk kekuasaan baru yang sama represifnya?
(*)