Jakarta - Pemerintah Indonesia kembali mengambil langkah tegas terhadap korporasi asing yang dinilai merusak lingkungan hidup. Kali ini, giliran Chevron Pacific Indonesia yang menjadi sorotan setelah Mahkamah Agung memutuskan perusahaan tersebut wajib membayar denda sebesar Rp1.232 triliun akibat kerusakan ekologis yang ditimbulkan selama masa operasionalnya.
Putusan kasasi Mahkamah Agung dengan nomor 1274 K/Pdt/2023 menegaskan bahwa negara memiliki dasar hukum kuat untuk menuntut tanggung jawab korporasi terhadap kerusakan lingkungan. Gugatan tersebut telah bergulir sejak tahun 2014 dan baru menemukan kekuatan hukum tetap pada awal 2025. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyambut baik keputusan tersebut.
“Pemerintah menunggu itikad baik dari perusahaan untuk membayar denda kerugian lingkungan sebesar Rp1.232.120.690.000,” ujar Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, Sabtu (6/4/2025).
Kasus ini berakar pada aktivitas pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) oleh Chevron di wilayah Riau. Pemerintah menilai praktik tersebut telah menyebabkan kerusakan ekosistem secara masif dan membahayakan kesehatan masyarakat setempat. Meski perusahaan mengklaim telah melakukan pemulihan lingkungan, KLHK menyebut upaya tersebut tidak sepadan dengan dampak jangka panjang yang ditimbulkan.
“Gugatan ini penting karena berkaitan dengan kewajiban pemulihan dan bentuk pertanggungjawaban terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan. Ini juga memberikan pesan kuat bahwa kejahatan lingkungan tidak akan pernah dibiarkan,” lanjut Rasio.
Langkah hukum ini dianggap sebagai bagian dari upaya besar pemerintah dalam memperkuat prinsip keadilan ekologis. Selain menjadi preseden penting dalam hukum lingkungan nasional, putusan ini juga mengirim sinyal kepada pelaku industri—terutama yang berasal dari luar negeri—bahwa aktivitas bisnis di Indonesia harus taat pada aturan lingkungan yang berlaku.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak Chevron terkait putusan tersebut. Sementara itu, publik dan komunitas lingkungan hidup terus memantau, apakah perusahaan energi global ini akan menjalankan kewajibannya atau justru memilih melawan melalui jalur hukum lanjutan.
Dalam konteks hubungan antara negara dan korporasi asing, kasus ini menjadi cerminan perubahan paradigma: dari ketergantungan pada investasi besar, menuju keberanian menuntut tanggung jawab moral dan hukum demi kelestarian lingkungan serta kepentingan rakyat. Apakah ini pertanda akhir dominasi korporasi asing tanpa akuntabilitas di Indonesia?
***