Jakarta - Bukan Pramono Anung namanya jika tak mampu menyatukan kubu-kubu yang selama ini berseberangan. Politik, yang kerap dianggap sebagai medan pertarungan tanpa kompromi, justru menjadi arena penyatuan di bawah kepemimpinannya. Di tangan Pramono, batas-batas ideologi dan persaingan politik seolah memudar—pendukung Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dua tokoh yang pernah bersaing ketat di Jakarta, kini berdiri di barisan yang sama.
Tak hanya itu, ormas-ormas yang selama ini kerap berseteru, seperti FBR dan Forkabi, kali ini duduk berdampingan. Jika selama ini perbedaan pandangan membuat mereka bersitegang, kini ada satu figur yang berhasil menghadirkan ketenangan: Pramono Anung.
Sebagai loyalis Megawati Soekarnoputri sekaligus tangan kanan Joko Widodo, Pramono awalnya mungkin bukan nama yang paling diunggulkan untuk memimpin Jakarta. Namun, PDI-P kini berbangga—sosok yang selama ini bekerja di balik layar akhirnya muncul ke depan, mengambil alih kendali Jakarta hingga 2025.
Di sisi lain, Joko Widodo, yang telah mengenal Pramono selama lebih dari satu dekade, hanya bisa tertawa melihat perjalanan politikus ulung ini. Orang kepercayaannya yang selama 10 tahun mendampinginya di Istana kini justru menaklukkan jagoannya sendiri, Ridwan Kamil-Suswono.
Hari ini, Pramono Anung bukan lagi sekadar dalang di belakang panggung. Ia berdiri di garis depan, siap mewujudkan janjinya kepada warga Jakarta. Dari Kampung Bayam hingga wacana sekolah swasta gratis, ia mulai merinci visi kepemimpinannya.
Namun, satu hal yang ditekankannya sejak awal: "Saya tak menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dituntaskan." Sebuah pernyataan yang sederhana, tetapi sarat makna.
Jakarta kini menatap babak baru. Dengan gaya kepemimpinan yang unik dan strategi politik yang tak terduga, Pramono Anung membawa harapan baru bagi ibu kota. Waktulah yang akan membuktikan, apakah ia benar-benar mampu mengubah Jakarta sesuai dengan janji yang diucapkannya.
(*)
