Jakarta - Menjelang batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, para wajib pajak diimbau untuk tidak hanya fokus pada penghasilan semata. Terdapat elemen penting lain yang kerap terabaikan namun berdampak besar dalam proses pelaporan, yakni harta. Dalam ketentuan perpajakan Indonesia, seluruh jenis harta yang dimiliki wajib pajak, baik yang diperoleh dari penghasilan yang telah dikenakan pajak maupun dari sumber lain, harus dicantumkan secara jelas dan lengkap dalam SPT Tahunan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui laman resminya menegaskan bahwa harta yang dimaksud mencakup seluruh aset yang dikuasai atau dimiliki hingga akhir tahun pajak bersangkutan. “Harta yang dilaporkan adalah harta yang masih dimiliki wajib pajak pada akhir tahun pajak,” tulis DJP sebagaimana dikutip dari laman pajak.go.id.
Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa tanggung jawab pelaporan tidak hanya terbatas pada harta bergerak seperti kendaraan bermotor, tetapi juga mencakup harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Di luar itu, wajib pajak juga perlu memperhatikan keberadaan harta keuangan seperti tabungan, deposito, saham, obligasi, dan jenis investasi lainnya.
DJP merinci bahwa pelaporan harta dalam SPT Tahunan mencakup tujuh kategori, di antaranya:
- Harta kas dan setara kas, seperti uang tunai, saldo tabungan, giro, dan deposito.
- Piutang, yang timbul dari transaksi pinjam-meminjam.
- Investasi, meliputi saham, obligasi, reksa dana, dan instrumen keuangan lainnya.
- Alat transportasi, termasuk mobil, motor, kapal, dan pesawat pribadi.
- Harta tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan.
- Harta bergerak lainnya, seperti perhiasan, logam mulia, karya seni, atau barang koleksi bernilai tinggi.
- Harta tidak berwujud, yang meliputi hak paten, merek dagang, hak cipta, dan sejenisnya.
Keakuratan pelaporan harta ini tak hanya penting untuk menjaga kepatuhan wajib pajak, tetapi juga sebagai bentuk keterbukaan dalam sistem perpajakan yang berbasis self-assessment. Dalam sistem ini, kejujuran dan ketelitian menjadi kunci utama.
DJP juga menyarankan wajib pajak untuk menyusun daftar harta dengan mencantumkan nilai perolehan, bukan nilai pasar saat ini. Hal ini penting agar proses pengisian SPT tidak menimbulkan kebingungan atau ketidaksesuaian data. “Gunakan harga perolehan, bukan harga pasar,” tulis DJP.
Bagi wajib pajak yang belum pernah melaporkan seluruh harta miliknya di tahun-tahun sebelumnya, ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan pembaruan. DJP memberikan kesempatan melalui mekanisme pembetulan SPT atau melalui program pengungkapan sukarela, apabila masih tersedia.
Pelaporan harta bukan sekadar kewajiban administratif. Ia mencerminkan integritas fiskal dan komitmen warga negara dalam berkontribusi pada pembangunan nasional. Oleh karena itu, sebelum tenggat pelaporan berakhir, ada baiknya setiap wajib pajak kembali memeriksa daftar hartanya—bukan hanya demi patuh pada aturan, tetapi juga demi keadilan dan transparansi dalam sistem perpajakan.
***