Jakarta - Tidak ada orang tua yang rela anak yang dicintai harus meregang nyawa karena ditembak atau dibunuh. Begitulah perasaan Sumarsih, seorang ibu yang kehilangan putranya, Wawan, dalam tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya, adalah sosok yang menyenangkan. Hobinya membaca, bahkan di kamar mandi pun ia selalu membawa koran, komik, atau buku. Di akhir pekan, keluarga mereka selalu berkumpul, memasak bersama, dan berdiskusi tentang banyak hal—termasuk politik yang kala itu semakin memanas menjelang reformasi 1998.
Seiring dengan meningkatnya demonstrasi mahasiswa, situasi politik di Indonesia kian genting. Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II menjadi catatan kelam dalam sejarah negeri ini. Komnas HAM telah menyelidiki berkas tragedi tersebut, termasuk kerusuhan 13-15 Mei 1998 dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi.
Sebagai mahasiswa yang aktif dalam kegiatan sosial, Wawan bergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Ia ikut mengadvokasi korban tragedi Mei 1998. Ketika datang ke rumah sakit, ia lebih sering meminta obat-obatan untuk teman-temannya yang berdemonstrasi daripada kebutuhan pribadinya.
Pada 13 November 1998, Jumat pagi, Wawan dan enam temannya mencoba menetralisir gas air mata di depan kampus Atma Jaya dengan menyemprotkan air hidran. Sekitar pukul tiga sore, aparat memasuki kampus. Saat melihat korban berjatuhan, Wawan memberanikan diri bertanya, "Pak, itu ada korban. Boleh ditolong atau tidak?" Seorang tentara mengizinkan, dan Wawan segera mengangkat bendera putih, melambaikannya sebagai tanda tidak bersenjata. Namun, ketika ia hendak menolong korban, justru ia yang ditembak.
Kesaksian menyebut bahwa sejak pagi, Wawan mengenakan ID card Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Ia tewas dengan luka tembak di dada sebelah kiri. Dr. Budi Sampurno mengautopsi jenazahnya dan menemukan bahwa peluru tajam standar militer telah menembus jantung dan paru-parunya.
Hari Sabtu, 14 November 1998, Wawan dimakamkan. Sepulang dari pemakaman, rumah keluarganya diselimuti kesunyian. Duka yang begitu mendalam membuat Sumarsih merasa tak sanggup lagi bertemu dengan orang banyak. Namun, kesedihan itu bertransformasi menjadi perjuangan.
Sumarsih memilih untuk tidak larut dalam duka, tetapi memperjuangkan keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM berat di Indonesia. Ia berdiri teguh menuntut pertanggungjawaban berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Baginya, warna hitam bukan lagi sekadar lambang duka cita, tetapi keteguhan hati untuk menegakkan supremasi hukum.
"Jangan hanya ada korban, tetapi pelakunya tidak ada," tegasnya. Hingga kini, perjuangan itu masih terus berjalan, menjadi pengingat bahwa keadilan tidak boleh dikubur bersama korban, dan tragedi kemanusiaan tidak boleh terulang kembali.
Lirik Kamis Hindia
Dan tidak akan ada orang yang rela anak yang dicintai ditembak atau dibunuh
Wawan itu anak yang menyenangkan
Hobinya membaca
Dia di kamar mandi pun selalu baca koran
Atau bawa komik atau buku
Kalau hari Sabtu, hari Minggu
Kami masak bersama-sama
Pada saat makan bersama itu, jam berapa pun makan malam bersama
Kami bercerita tentang keseharian
Dari pembicaraan yang sederhana, kami membicarakan masalah politik
Karena pada tahun '97-'98 masalah politik Indonesia semakin memanas
Setelah pembicaraan sampai kepada masalah politik, selalu ditutup dengan "Besok dimasakin apa?"
Karena pada tahun '98 itu demonstrasi dan hari ke hari semakin membesar
Tahun '98 terjadi tragedi kemanusiaan yang sudah diselidiki oleh Komnas HAM
Yaitu dalam berkas tragedi penembakan mahasiswa
Peristiwa Semanggi 1, Semanggi 2, Trisakti
Kemudian berkas kerusuhan 13-15 Mei '98
Dan berkas penghilangan paksa atau penculikan aktivis pro-demokrasi
Wawan mahasiswa Atma Jaya
Juga aktif di masyarakat dengan ikut anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan
Mengadvokasi korban 13, 15 Mei '98 sebagai anggota tim relawan kemanusiaan
Setiap Wawan datang ke rumah sakit yang diminta adalah obat-obatan untuk teman-temannya yang berdemonstrasi
Dan menurut kesaksian, pada tanggal 13 November hari Jumat itu, jam 10 pagi
Bersama enam orang temannya, Wawan menetralisir gas air mata di depan kampus Atma Jaya dengan menyemprotkan air hidran
Sekitar jam 3 sore, aparat masuk ke Atma Jaya
Ada korban yang jatuh, Wawan ngasih tahu
"Pak, itu ada korban. Boleh ditolong atau tidak?"
Tentara itu mengatakan, "Boleh, silakan"
Kemudian Wawan mengeluarkan bendera putih, dilambai-lambaikan
Tetapi pada saat Wawan akan mengangkat korban, justru Wawan ditembak
Banyak orang mengatakan dari pagi Wawan menggunakan ID card Tim Relawan untuk Kemanusiaan
Dan Wawan diautopsi oleh Dr. Budi Sampurno
Wawan meninggal dunia karena ditembak dengan peluru tajam standar militer di dada sebelah kiri mengenai jantung dan parunya
Dan menurut kesaksian juga bahwa Wawan ditembak oleh aparat di halaman kampusnya ketika sedang menolong seorang korban yang juga ditembak oleh aparat
Setelah Wawan meninggal dunia, hari Jumat 13 November '98 Wawan ditembak, hari Sabtu Wawan dimakamkan
Pulang dari makam ada wartawan bertiga begitu, di rumah sunyi
Kemudian saya bilang, "Saya akan berhenti bekerja
Saya tidak sanggup untuk bertemu dengan orang"
Saya sangat mencintai Wawan, kami sekeluarga mencintai Wawan
Tapi duka cita saya bertransformasi pada cinta terhadap sesama
Dengan memperjuangkan agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia ini
Dipertanggungjawabkan sesuai dengan undang-undang yang berlaku
Yaitu Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM
Untuk mewujudkan agenda reformasi yang ketiga yang diperjuangkan oleh Wawan dan kawan-kawannya
Yaitu tegakkan supremasi hukum
Bagi saya, warna hitam bukan lambang duka cita tetapi lambang keteguhan
Jangan yang ada hanya korban, tetapi pelakunya tidak ada
(*)