Jakarta - Kasus mega korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menjadi salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia, yang mencerminkan kelemahan dalam tata kelola dan pengawasan sektor asuransi. Bermula dari masalah keuangan sejak awal 2000-an, kasus ini berkembang menjadi krisis yang mengakibatkan kerugian negara hingga belasan triliun rupiah. Setelah melalui serangkaian investigasi, proses hukum, dan restrukturisasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya menutup Jiwasraya.
Awal Mula Krisis (2004-2009)
Permasalahan Jiwasraya bukanlah sesuatu yang terjadi dalam semalam. Sejak 2004, perusahaan ini telah mengalami insolvensi sebesar Rp2,769 triliun akibat ketidakseimbangan antara cadangan yang dimiliki dengan kewajiban yang harus dibayar. Situasi ini semakin memburuk pada 2006-2007, di mana ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp3,29 triliun, dengan opini tidak wajar dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hingga 2009, defisit perusahaan terus meningkat menjadi Rp6,3 triliun, memaksa manajemen melakukan upaya penyelamatan dengan skema reasuransi finansial, yang ternyata hanya menunda krisis tanpa solusi yang mendasar.
Manipulasi Keuangan dan Produk Bermasalah (2010-2017)
Pada 2010, Jiwasraya mulai menggunakan skema financial reinsurance untuk menutup defisit, tetapi praktik ini ternyata tidak memiliki dasar yang kuat dan dianggap sebagai manipulasi keuangan. Masalah semakin kompleks ketika pada 2012, pengawasan Jiwasraya berpindah ke OJK. Dengan rekayasa akuntansi, Jiwasraya seolah-olah berada dalam kondisi keuangan yang sehat.
Periode 2013-2017 menjadi puncak dari strategi pemasaran agresif Jiwasraya. Perusahaan menawarkan produk JS Saving Plan, yang memberikan imbal hasil tinggi tetapi dengan risiko besar. Penjualan produk ini membuat pendapatan premi Jiwasraya meningkat pesat, meski di balik itu terdapat ketidakseimbangan investasi. OJK sempat mengingatkan Jiwasraya untuk mengevaluasi produk ini agar lebih sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan, namun peringatan tersebut tidak diindahkan.
Gagal Bayar dan Terungkapnya Skandal (2018-2020)
Pada April 2018, OJK dan Jiwasraya mulai menyadari adanya penurunan pendapatan premi akibat evaluasi terhadap produk JS Saving Plan. Situasi semakin parah setelah pada Mei 2018, Kementerian BUMN mengganti direksi Jiwasraya. Direksi baru kemudian menemukan banyak kejanggalan dalam laporan keuangan perusahaan, yang menandai awal pengungkapan skandal besar ini.
Pada Oktober 2018, Jiwasraya resmi menunda pembayaran klaim JS Saving Plan sebesar Rp802 miliar, yang menjadi indikasi awal krisis likuiditas serius. Situasi ini berlanjut hingga 2019, di mana ekuitas Jiwasraya tercatat negatif Rp27,24 triliun, dengan total kewajiban dari produk JS Saving Plan mencapai Rp15,75 triliun.
Pada 2020, Kejaksaan Agung mulai melakukan investigasi besar-besaran dan menetapkan 14 tersangka, termasuk pejabat OJK dan 13 perusahaan manajer investasi. Dugaan korupsi yang terjadi di Jiwasraya menyebabkan kerugian negara hingga Rp12,15 triliun, menjadikannya salah satu skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Restrukturisasi dan Pemindahan Polis (2021-2023)
Pemerintah berusaha menyelamatkan nasabah Jiwasraya dengan melakukan restrukturisasi. Pada 2021, Kementerian BUMN memulai proses pemindahan pemegang polis ritel Jiwasraya ke IFG Life, perusahaan asuransi yang dibentuk untuk mengambil alih tanggung jawab dari Jiwasraya.
Pada 31 Desember 2023, program restrukturisasi selesai, dengan 99,7% pemegang polis setuju berpartisipasi dalam skema penyelamatan ini. Meski demikian, masalah Jiwasraya masih jauh dari selesai, karena perusahaan tetap menghadapi sanksi akibat berbagai pelanggaran di masa lalu.
Penutupan Jiwasraya oleh OJK (2024)
Pada Juni 2024, OJK meminta Jiwasraya menyusun rencana penyelesaian perusahaan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, OJK akhirnya mengambil langkah tegas.
Pada September 2024, OJK resmi menjatuhkan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) terhadap Jiwasraya, yang melarang perusahaan untuk melakukan penutupan pertanggungan baru. Keputusan ini menjadi sinyal bahwa Jiwasraya tidak lagi memiliki prospek untuk beroperasi dan akhirnya harus ditutup.
Pelajaran dari Kasus Jiwasraya
Kasus Jiwasraya menjadi contoh nyata bagaimana manajemen yang buruk, pengawasan yang lemah, serta praktik bisnis yang tidak sehat dapat membawa dampak besar bagi perekonomian dan masyarakat. Kejadian ini menyoroti pentingnya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) serta pengawasan ketat oleh regulator, agar skandal serupa tidak terulang di masa depan.
Meskipun Jiwasraya telah resmi ditutup, implikasi dari kasus ini akan terus menjadi bahan evaluasi bagi industri asuransi Indonesia dalam membangun sistem keuangan yang lebih transparan dan berkelanjutan.
(*)