Tangsel, Banten - Korupsi tak pernah sekadar perkara uang. Ia lebih dalam, lebih merusak, dan diam-diam menggerogoti sendi kehidupan berbangsa. Sayangnya, persepsi umum masih sering mengerdilkannya menjadi sekadar “mencuri uang negara”. Padahal, praktik korupsi telah bertransformasi dalam banyak bentuk dan menyusup ke dalam kebiasaan sehari-hari—dari ruang birokrasi hingga obrolan santai antarwarga.
Apa Itu Korupsi?
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui laman resmi ACLC, korupsi didefinisikan bukan hanya sebagai tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Korupsi juga mencakup penyalahgunaan wewenang, pemerasan, gratifikasi, hingga benturan kepentingan dalam pengambilan keputusan.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, terdapat sedikitnya 30 bentuk tindak pidana korupsi. Di antaranya termasuk penggelapan dalam jabatan, suap menyuap, dan perbuatan curang lainnya yang melanggar prinsip keadilan dan integritas.
Gratifikasi: Korupsi yang Sering Dianggap Sepele
Salah satu bentuk korupsi yang sering dianggap biasa oleh masyarakat adalah gratifikasi. Banyak orang masih menganggap pemberian hadiah kepada pejabat sebagai bentuk penghormatan atau “ucapan terima kasih”, padahal praktik tersebut sangat rentan menjadi pintu masuk korupsi.
KPK menegaskan, “Gratifikasi dalam bentuk uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, wisata gratis, dan sejenisnya kepada penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya adalah bentuk gratifikasi yang dilarang dan wajib dilaporkan.”
Ketidaktahuan atau pembiaran terhadap praktik seperti ini berpotensi merusak sistem secara keseluruhan. Bukan hanya pelaku, masyarakat yang membiarkan atau ikut memfasilitasi juga menjadi bagian dari ekosistem koruptif itu sendiri.
Mengapa Korupsi Berbahaya?
Dampak korupsi bukan hanya pada kerugian negara, tetapi juga pada kepercayaan publik dan keadilan sosial. Ketika korupsi terjadi, layanan publik terganggu, pembangunan tidak merata, dan masyarakat yang paling rentan menjadi korban pertama.
Korupsi menciptakan ketimpangan struktural yang membuat akses terhadap hak dasar—seperti pendidikan, kesehatan, dan keadilan hukum—hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Lebih dari itu, korupsi melanggengkan budaya diam dan apatis yang menghancurkan generasi masa depan.
Apa Itu Antikorupsi?
Melawan korupsi tidak cukup hanya dengan penindakan. Kita membutuhkan sikap antikorupsi yang lahir dari kesadaran dan pendidikan. Dalam situs resminya, ACLC KPK menulis, “Antikorupsi merupakan sikap dan perilaku yang menolak segala bentuk tindakan korupsi dan mendorong terciptanya budaya integritas dalam kehidupan sehari-hari.”
Nilai-nilai antikorupsi mencakup:
- Kejujuran
- Kepedulian
- Kemandirian
- Kedisiplinan
- Tanggung jawab
- Kerja keras
- Kesederhanaan
- Keberanian
- Keadilan
Nilai-nilai inilah yang harus ditanamkan sejak dini, agar masyarakat tumbuh dengan kesadaran bahwa korupsi adalah musuh bersama.
Membangun Budaya Antikorupsi dari Lingkungan Terdekat
Budaya antikorupsi tidak terbentuk dalam semalam. Ia harus dipupuk dari lingkungan terkecil: keluarga, sekolah, dan tempat kerja. Orang tua perlu menjadi teladan dalam bersikap jujur dan adil. Guru dan institusi pendidikan harus berani mengintegrasikan nilai-nilai etika dan integritas dalam kurikulum dan keseharian di kelas. Sementara itu, pimpinan lembaga atau perusahaan harus menciptakan sistem kerja yang akuntabel dan terbuka.
Jika nilai antikorupsi diterapkan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari, maka perlahan-lahan, praktik-praktik kecil yang selama ini dianggap “wajar” akan berubah menjadi sesuatu yang memalukan untuk dilakukan.
Saatnya Bergerak Bersama
Korupsi bukan hanya penyakit individu, tapi cerminan dari sistem dan budaya yang permisif. Untuk memberantasnya, diperlukan gerakan bersama yang melampaui batas hukum dan institusi. Kita semua harus jadi bagian dari perubahan.
Karena pada akhirnya, pertanyaan yang harus dijawab bukan hanya "siapa yang korup?", melainkan “apa yang bisa saya lakukan untuk melawannya?”
*