Medan, Sumatera Utara (Sumut) – Dugaan korupsi yang melibatkan fasilitas kredit fiktif di Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol Medan memasuki babak baru. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) resmi menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Polda Sumut terkait kasus ini.
SPDP tersebut diterima pada Kamis, 25 Juli 2024, sebagaimana dikonfirmasi oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sumut, Adre Ginting.
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang mencurigai adanya penyimpangan dalam penyaluran kredit kepada PT Bintang Persada Satelit (BPSAT).
Perusahaan tersebut sebelumnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Medan melalui putusan No. 8/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2023/PN Niaga Mdn Jo. No. 2/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN Niaga Mdn pada 1 Februari 2024.
Seiring dengan putusan tersebut, muncul dugaan bahwa kredit yang diberikan kepada PT BPSAT bersifat fiktif dan berpotensi merugikan negara hingga lebih dari Rp30 miliar, berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi (BPKP) Sumut.
Sebagai salah satu kreditur, Bank Mandiri memiliki piutang terhadap PT BPSAT sebesar Rp82,39 miliar dengan jaminan berupa aset pabrik di Jalan Ladang Gang Perdamaian No. 34, Kelurahan Kedai Durian, Kecamatan Medan Johor.
Namun, ketika dilakukan lelang pada 12 Februari 2024, aset tersebut hanya laku dengan harga Rp10 miliar. Hal ini menjadi salah satu titik utama dalam penyelidikan karena terdapat dugaan penjualan aset di bawah harga yang seharusnya.
Marudut Simanjuntak, kurator yang ditunjuk untuk menangani kepailitan PT BPSAT, menyoroti kejanggalan dalam proses lelang tersebut.
Menurutnya, lelang tetap dilaksanakan meskipun perusahaan sudah dinyatakan pailit, yang seharusnya membuat semua aset dikelola oleh kurator sesuai dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Ia juga mengungkapkan bahwa pemenang lelang, Paidi Lukman, menjual kembali aset tersebut hanya dalam waktu dua bulan dengan harga Rp17 miliar, jauh di atas harga lelang awal.
“Kami mempertanyakan bagaimana Bank Mandiri tetap melakukan lelang meskipun status pailit sudah ditetapkan. Aset ini seharusnya berada dalam pengelolaan kurator, bukan langsung dilelang oleh bank,” ujar Marudut Simanjuntak.
Ia juga menambahkan bahwa tindakan tersebut menimbulkan kerugian negara yang cukup besar dan merugikan pihak-pihak yang seharusnya menerima haknya, termasuk para pekerja dan pemerintah dalam bentuk pajak yang belum terbayarkan sebesar Rp9 miliar.
Sebagai langkah hukum, Marudut telah mengajukan gugatan pembatalan lelang ke Pengadilan Niaga Medan. Gugatan tersebut dikabulkan melalui putusan No. 2/Pdt.Sus-Gugatan Lain-lain/2024/PN Niaga Mdn Jo. No. 8/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2023/PN Niaga Mdn Jo. No. 2/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN Niaga Mdn tertanggal 19 Juli 2024. Meski demikian, Bank Mandiri tidak tinggal diam dan kini sedang mengajukan kasasi atas putusan tersebut.
Dengan adanya penyidikan yang dilakukan oleh Kejati Sumut, harapan kini tertuju pada Mahkamah Agung untuk menolak permohonan kasasi yang diajukan Bank Mandiri.
Marudut berharap agar hasil penjualan aset pabrik bisa segera dialokasikan untuk membayar hak-hak pekerja serta utang pajak negara yang masih tertunggak.
Sementara itu, pihak kepolisian melalui Direktorat Kriminal Khusus Polda Sumut terus mendalami dugaan bahwa kredit yang diberikan kepada PT BPSAT adalah fiktif.
Dengan temuan awal yang mengindikasikan adanya penyimpangan dalam proses pencairan dana, penyidik akan menelusuri lebih lanjut keterlibatan berbagai pihak dalam kasus ini.
Kasus ini menjadi sorotan publik, tidak hanya karena besarnya nilai kerugian, tetapi juga karena kompleksitas transaksi yang melibatkan institusi perbankan besar.
Dengan penegakan hukum yang berjalan, masyarakat menantikan kejelasan atas dugaan praktik korupsi ini serta kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.
(*)