Jakarta - Nilai tukar rupiah kembali jadi sorotan. Di tengah dinamika global yang penuh ketidakpastian, mata uang Garuda diterpa tekanan hebat di pasar non-deliverable forward (NDF). Pada Jumat malam (5/4/2025), rupiah tercatat melemah hingga menembus Rp17.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Ini adalah titik terendah yang tercatat sejak masa pandemi COVID-19, dan menjadi alarm serius bagi kondisi ekonomi nasional.
Sementara di pasar dalam negeri, rupiah masih diperdagangkan di kisaran Rp15.900-an per dolar AS. Namun, pasar NDF sering kali mencerminkan ekspektasi pelaku pasar global terhadap arah kebijakan dan kekuatan fundamental ekonomi Indonesia. Ketika rupiah di pasar offshore jebol ke angka Rp17.000, kekhawatiran tak lagi bisa ditepis.
Menurut Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, tekanan terhadap rupiah berasal dari sentimen eksternal yang memburuk. “Pasar menilai bahwa The Fed kemungkinan akan menahan suku bunga acuannya lebih lama karena data ekonomi AS yang tetap kuat,” ujar Josua.
Pernyataan Josua mengacu pada data ekonomi AS yang terus menunjukkan ketahanan, termasuk dari sektor ketenagakerjaan dan inflasi. Hal ini mendorong imbal hasil (yield) obligasi AS naik, membuat dolar AS makin menarik bagi investor, sementara aset negara berkembang seperti Indonesia menjadi kurang dilirik.
Namun pelemahan ini tak sepenuhnya disebabkan faktor luar. Ketidakpastian dari dalam negeri juga memberi tekanan tambahan. Pasca pemilu, dinamika politik dan kebijakan fiskal yang belum sepenuhnya jelas turut menciptakan kehati-hatian di kalangan investor. Selain itu, surplus neraca perdagangan yang mulai menyempit membuat cadangan devisa tidak lagi sekuat beberapa tahun terakhir.
Bank Indonesia sendiri belum melakukan langkah ekstrem di pasar spot, menunjukkan bahwa level ini mungkin masih dalam ambang yang bisa diterima. Tapi, jika tekanan berlanjut dan sentimen memburuk, intervensi atau penyesuaian suku bunga bisa jadi pertimbangan.
“Jika tekanan terhadap rupiah di pasar NDF terus berlanjut, bukan tidak mungkin Bank Indonesia akan mempertimbangkan langkah lanjutan,” tambah Josua.
Lonjakan dolar ke atas Rp17.000 bukan sekadar sinyal teknikal. Ia membawa dampak nyata bagi pelaku usaha dan masyarakat. Biaya impor melonjak, tekanan inflasi meningkat, dan stabilitas harga dalam negeri bisa terganggu. Dalam situasi seperti ini, ketegasan dan sinyal positif dari otoritas moneter dan fiskal sangat dibutuhkan untuk meredam gejolak lebih lanjut.
Apakah ini hanya guncangan sementara atau awal dari tren pelemahan baru? Jawabannya tergantung pada arah kebijakan, kepercayaan pasar, dan kemampuan Indonesia menjaga stabilitas di tengah badai global. ***