Jakarta - Kasus dugaan korupsi kembali mengguncang dunia perbankan. Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam skandal manipulasi pemberian kredit di salah satu bank Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jawa Timur Cabang Jakarta. Tak tanggung-tanggung, kerugian negara akibat kasus ini ditaksir mencapai Rp569 miliar.
Penetapan tersangka ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan Surat Penetapan Tersangka yang diterbitkan pada 20 Februari 2025, tiga nama muncul dalam pusaran kasus ini: BN, BS, dan ADM. BN, yang menjabat sebagai Kepala Cabang bank BUMD Jatim di Jakarta, diduga memainkan peran sentral dalam proses pemberian kredit yang bermasalah ini.
Menurut keterangan Kepala Seksi Penerangan Umum Kejati DKI Jakarta, Syahron Hasibuan, skema korupsi ini terjadi pada periode 2023 hingga 2024. Dalam kurun waktu tersebut, BN memberikan fasilitas kredit piutang dan kredit kontraktor kepada BS dan ADM tanpa melalui proses yang seharusnya. Hasilnya? Sebanyak 65 fasilitas kredit piutang dan 4 fasilitas kredit kontraktor dikucurkan tanpa memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Lebih mencurigakan lagi, fasilitas kredit ini diduga dijamin dengan agunan fiktif. Surat perintah kerja (SPK) dan faktur (invoice) yang digunakan sebagai jaminan berasal dari berbagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, keabsahan dokumen tersebut diragukan. Dugaan semakin menguat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut hanyalah nominee yang sengaja dibentuk oleh BS untuk memuluskan pencairan kredit.
Dampaknya pun tak main-main. Kerugian negara akibat praktik korupsi ini mencapai Rp569,42 miliar. Para tersangka kini dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, juncto Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kejati DKI Jakarta menegaskan komitmennya untuk mengusut kasus ini hingga tuntas. Skandal ini kembali menjadi pengingat bahwa pengawasan ketat dalam sistem perbankan, khususnya di lembaga keuangan milik daerah, sangatlah penting. Kelemahan dalam pengawasan dan pengelolaan kredit dapat menjadi celah besar bagi oknum tak bertanggung jawab untuk merugikan negara.
Kini, publik menanti proses hukum selanjutnya. Apakah para pelaku akan mendapat hukuman setimpal? Ataukah kasus ini akan berakhir seperti banyak kasus korupsi lainnya yang perlahan meredup di tengah perjalanan? Yang pasti, skandal ini menjadi cerminan betapa integritas dalam pengelolaan keuangan negara harus selalu dijaga.
(*)