Jakarta - Dalam setiap pesta demokrasi, isu politik uang seolah menjadi bayang-bayang yang sulit dihindari. Fenomena ini bukan hanya menggerus esensi demokrasi, tetapi juga memperlihatkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menegaskan bahwa tindak pidana pemilu adalah salah satu pelanggaran yang paling jarang dieksekusi oleh aparat hukum.
“Dan (akhirnya) ketemu dengan law enforcement yang lemah. Tindak pidana yang paling tidak dieksekusi oleh aparat hukum adalah tindak pidana pemilu,” ujar Burhanuddin dalam diskusi publik bertajuk Demokrasi Cukong yang digelar secara daring dan luring pada Kamis, 20 Februari 2025. Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Burhanuddin menjelaskan bahwa aparat hukum sering kali enggan menindak pelanggaran pemilu karena keterlibatan calon pejabat politik dalam kasus-kasus tersebut.
“Karena umumnya berkaitan dengan calon pejabat politik. Jadi, takut juga itu polisi. Umumnya begitu ya. Tindak pidana yang paling sedikit eksekusinya,” tambahnya.
Fenomena ini tidak terlepas dari strategi politik uang yang telah mengakar di berbagai kontestasi pemilu. Uang dalam politik, menurut Burhanuddin, tidak hanya digunakan untuk mengubah pilihan pemilih, tetapi juga untuk mempertahankan basis pendukung agar tidak berpindah ke kandidat lain.
“Mengapa? Karena teori ini mengajarkan uang itu tidak semata-mata untuk mengubah pilihan orang, tetapi untuk mengkontrasi lawan,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa kandidat yang sudah menyantuni basis pendukungnya akan memastikan agar mereka tidak berpaling ke lawan. “Akibatnya, yang penting basis yang mereka sudah santuni itu tidak pindah ke lain hati. Makanya, efeknya tidak terlalu besar,” lanjutnya.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah jebakan psikologis yang dikenal sebagai Prisoner’s Dilemma atau dilema narapidana. Dalam kondisi ini, meskipun para kandidat sepakat untuk tidak melakukan politik uang, mereka tetap merasa harus melakukannya karena khawatir pesaing mereka akan terlebih dahulu mengambil langkah serupa.
“Dalam konteks dilema narapidana ini adalah daripada mereka dirugikan kalau tidak melakukan politik uang. Akhirnya semua melakukan. Ini yang jebakan dilema tahanan,” ungkap Burhanuddin.
Realitas ini memperlihatkan betapa kompleksnya tantangan dalam membangun demokrasi yang sehat di Indonesia. Lemahnya penegakan hukum, ketakutan aparat terhadap calon pejabat politik, serta jebakan politik uang menciptakan siklus yang sulit diputus. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka pemilu yang seharusnya menjadi ajang demokratis justru menjadi permainan transaksi yang jauh dari prinsip keadilan dan keterbukaan.
Untuk itu, diperlukan upaya serius dari semua pihak—terutama aparat penegak hukum—agar dapat lebih tegas dalam menangani tindak pidana pemilu. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi formalitas, sementara kepentingan segelintir elite politik terus mengendalikan jalannya pemilu di Indonesia.
(*)