Press ESC to close

Dolar AS Menggila, Rupiah Kian Tertekan: Indonesia Menuju Krisis?

Jakarta - Nilai tukar rupiah kembali mencatat rekor pelemahan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan kurs transaksi Bank Indonesia per 24 April 2025, rupiah dijual di level Rp16.964,40 dan dibeli di Rp16.795,60 per dolar AS. Ini merupakan salah satu posisi terlemah mata uang Garuda dalam beberapa tahun terakhir, dan memunculkan kekhawatiran baru tentang stabilitas ekonomi nasional.

Meski pelemahan rupiah dikaitkan dengan dinamika global, lonjakan kurs dolar tak bisa dibiarkan berlalu tanpa analisis tajam. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan, “Pelemahan rupiah saat ini masih sejalan dengan pergerakan regional akibat penguatan dolar AS yang dipicu oleh ekspektasi higher for longer suku bunga The Fed.” Artinya, tekanan terhadap rupiah lebih banyak berasal dari luar negeri, khususnya sentimen bahwa The Fed tidak akan segera menurunkan suku bunganya.

Namun rupiah yang melemah hampir menyentuh Rp17.000 per dolar AS bukan sekadar refleksi pasar global. Di dalam negeri, terdapat fondasi ekonomi yang belum cukup kuat untuk meredam efek eksternal. Teuku Riefky, ekonom dari LPEM UI, menambahkan, “Volatilitas rupiah belakangan ini masih dikarenakan sentimen eksternal, di mana investor cenderung melakukan flight to quality di tengah ekspektasi suku bunga The Fed yang akan tetap tinggi.” Para investor asing kini lebih memilih aset dolar yang dianggap aman, ketimbang pasar negara berkembang seperti Indonesia.

Kondisi ini memunculkan efek domino yang sangat dirasakan oleh pelaku usaha dan masyarakat luas. Harga bahan baku industri yang diimpor ikut melonjak, ongkos produksi meningkat, dan pada akhirnya bisa berimbas pada inflasi barang konsumsi. Di sisi lain, ekspor belum mampu menjadi penyeimbang karena ketergantungan pada sektor komoditas yang fluktuatif.

Bank Indonesia telah merespons dengan beberapa langkah, termasuk mempertahankan suku bunga di level tinggi dan melakukan intervensi di pasar valas. Namun tekanan dari luar sangat besar, sementara di dalam negeri, belanja fiskal pemerintah masih terpusat pada proyek-proyek infrastruktur jangka panjang, bukan stimulus yang langsung menyasar sektor-sektor terdampak gejolak nilai tukar.

Yang paling terpukul tentu masyarakat kecil. Kenaikan harga barang-barang pokok yang sebagian besar masih bergantung pada impor membuat daya beli semakin tergerus. Melemahnya rupiah bukan sekadar masalah makroekonomi, tapi telah menyusup ke sendi-sendi kehidupan harian rakyat.

Catatan Redaksi: Berdasarkan data resmi Bank Indonesia, kurs transaksi rupiah terhadap dolar AS pada 24 April 2025 tercatat di Rp16.964,40 (jual) dan Rp16.795,60 (beli). Ini jauh di atas angka yang sempat digunakan dalam pembukaan perdagangan pasar spot, yaitu Rp16.230, menandakan pelemahan yang lebih dalam dari perkiraan sebelumnya.

Jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa strategi jangka menengah yang konkret—baik dari sisi fiskal, struktural, maupun diplomasi ekonomi—Indonesia bisa saja kembali menghadapi krisis kepercayaan terhadap rupiah seperti era 1998. Krisis mungkin tak datang dalam bentuk yang sama, tapi dampaknya bisa lebih luas dan tersembunyi dalam bentuk stagnasi ekonomi berkepanjangan.

(*)

Graha Nusantara

Graha Nusantara adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *