Jakarta – Setelah skandal di PT Pertamina (Persero) yang menghebohkan publik, kini giliran PT PLN (Persero) menjadi sorotan dalam dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kalbar 1.
Aparat penegak hukum tengah menyelidiki indikasi penyalahgunaan wewenang dalam proyek ini, yang berpotensi merugikan negara hingga Rp1,2 triliun.
Proyek PLTU Kalbar 1, yang berkapasitas 2x50 MW, dimulai pada 2008 di Kecamatan Jungkat, Kalimantan Barat, dengan tujuan meningkatkan pasokan listrik di wilayah tersebut.
Namun, proyek ini mengalami berbagai kendala hingga akhirnya mangkrak pada 2016, menyebabkan kerugian besar bagi negara.
Penyelidikan awal mengungkap bahwa proses tender proyek ini dimenangkan oleh konsorsium KSO BRN, meskipun perusahaan tersebut diduga tidak memenuhi syarat prakualifikasi dan evaluasi teknis.
Pada 11 Juni 2009, kontrak proyek senilai USD80 juta dan Rp507 miliar ditandatangani antara RR, Direktur Utama PT BRN, dan FM, Direktur Utama PT PLN saat itu.
Namun, KSO BRN diduga mengalihkan seluruh pekerjaan kepada dua perusahaan asal Tiongkok, PT PI dan QJPSE, yang menyebabkan proyek tidak berjalan sesuai rencana dan akhirnya mangkrak.
Kasus ini kini dalam penyelidikan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri. Wakil Kepala Kortastipidkor Polri, Brigadir Jenderal Arief Adiharsa, mengonfirmasi bahwa sejumlah pihak telah diperiksa terkait kasus ini.
"Kami sudah memanggil dan memeriksa pejabat PLN Pusat terkait proyek ini pada 3 Maret 2025," ujar Arief.
Selain pejabat PLN, penyidik juga telah memeriksa RR dan FM, dua figur kunci dalam proyek ini.
Dugaan awal mengarah pada kemungkinan adanya penggelembungan anggaran dan penyalahgunaan kontrak kerja sama, yang berujung pada kerugian besar bagi negara.
Hingga saat ini, PLN belum memberikan pernyataan resmi mengenai dugaan korupsi ini.
Publik pun mempertanyakan bagaimana proyek dengan anggaran besar bisa mengalami kegagalan total tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.
Kasus ini menambah panjang daftar proyek strategis nasional yang tidak berjalan sesuai harapan, mencerminkan lemahnya pengawasan dalam pengelolaan proyek infrastruktur energi.
Jika pola semacam ini terus berulang, dampaknya tidak hanya pada keuangan negara, tetapi juga pada kestabilan pasokan listrik bagi masyarakat.
Dengan penyelidikan yang masih berlangsung, masyarakat menanti langkah konkret aparat hukum untuk menuntaskan kasus ini.
Jika dugaan korupsi terbukti, maka skandal PLN ini akan menjadi kasus besar kedua di sektor energi dalam waktu berdekatan, menyusul kasus dugaan korupsi di Pertamina yang masih dalam proses hukum.
***