Jakarta - Di tengah impian banyak orang untuk memiliki rumah, tak sedikit yang justru terpental dari proses pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) karena jenis pekerjaan yang mereka jalani. Meski penghasilan bulanan bisa dikatakan cukup, profesi tertentu dinilai terlalu berisiko oleh bank karena dianggap tidak stabil secara finansial.
Dalam dunia perbankan, kemampuan membayar cicilan bukan sekadar soal besar gaji, tapi juga tentang kepastian arus kas dan riwayat kredit yang jelas. Bank umumnya mensyaratkan dokumen formal seperti slip gaji tetap, Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak, dan laporan keuangan sebagai indikator kesehatan finansial debitur.
Sayangnya, empat profesi berikut kerap gagal memenuhi syarat administratif tersebut:
- Pekerja sektor informal – Seperti pedagang kecil, buruh lepas, hingga usaha rumahan, mayoritas tidak memiliki slip gaji atau bukti penghasilan tetap.
- Pengusaha mikro dan kecil – Walau omzet bisa besar, minimnya pembukuan keuangan membuat bank ragu menilai kelayakan pinjaman mereka.
- Driver ojek online atau kurir – Penghasilan cenderung fluktuatif dan tergantung pada jam kerja serta permintaan harian.
- Freelancer – Meski banyak bekerja untuk klien besar atau internasional, ketidakpastian kontrak dan penghasilan yang tak reguler jadi penghalang utama.
Menurut data OJK (Otoritas Jasa Keuangan), sekitar 60% tenaga kerja di Indonesia berada di sektor informal. Artinya, lebih dari separuh populasi aktif secara ekonomi berada di luar sistem pembiayaan formal. Ini menciptakan jurang antara realita lapangan dan kriteria bank konvensional.
“Yang paling sulit biasanya pekerja sektor informal, pengusaha kecil, driver ojek online, dan pekerja lepas (freelancer),” ungkap Executive Vice President Consumer Loan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, Suryanti Agustinar.
Situasi ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat produktif tidak memiliki akses adil terhadap fasilitas pembiayaan karena sistem yang belum inklusif. Padahal, dengan kemajuan teknologi finansial dan pencatatan digital, sebenarnya ada peluang untuk menciptakan alternatif analisis kredit yang lebih fleksibel.
Beberapa fintech dan bank digital mulai melirik pendekatan baru dengan memanfaatkan data transaksi, histori e-wallet, dan pembayaran tagihan sebagai indikator kelayakan kredit. Langkah ini patut didorong agar akses perumahan tidak menjadi hak eksklusif kelompok dengan pekerjaan formal saja.
Jika tidak ada reformasi kebijakan kredit yang mengikuti dinamika jenis pekerjaan masa kini, maka kesenjangan kepemilikan rumah bisa semakin dalam, dan mimpi memiliki rumah akan terus menjauh bagi jutaan pekerja non-konvensional.
*