Jakarta - Desas-desus tentang kemungkinan pengunduran diri Paus Fransiskus kembali menguat. Kondisi kesehatan yang menurun dan berbagai isyarat simbolik dari Vatikan memicu spekulasi luas mengenai siapa sosok yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan Gereja Katolik Roma.
Isu ini mencuat sejak 2022, saat Paus Fransiskus membatalkan kunjungan ke Republik Demokratik Kongo dan Sudan Selatan karena cedera lutut. Keputusan mendadak untuk mengunjungi kota L’Aquila di Italia—tempat Paus Celestine V dimakamkan, salah satu Paus yang mengundurkan diri secara sukarela—semakin memperkuat dugaan bahwa transisi mungkin sedang dipersiapkan.
Kini, perhatian dunia tertuju pada lima kardinal yang dianggap paling berpeluang menduduki takhta St. Petrus. Di posisi teratas, Kardinal Pietro Parolin dari Italia menonjol sebagai calon kuat. Ia menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan dan dikenal memiliki pengaruh besar dalam diplomasi internasional Gereja.
Kandidat berikutnya adalah Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina, tokoh penting dari Asia yang dekat dengan kaum muda dan komunitas minoritas. Ia dinilai sebagai representasi globalisasi Gereja dan sering disebut sebagai wajah baru Katolik Asia.
Tak kalah diperhitungkan, Kardinal Matteo Zuppi dari Bologna dikenal karena keterlibatannya dalam misi perdamaian dan kedekatannya dengan komunitas Sant’Egidio. “Ia memiliki rekam jejak dalam diplomasi dan perdamaian yang kuat,” ujar pengamat Vatikan dalam laporan Kompas.tv.
Nama lain yang juga mencuat adalah Kardinal Christoph Schönborn dari Austria. Ia memiliki reputasi akademik yang kuat dan pengalaman panjang dalam sinode Gereja, meski usianya yang kini menginjak 80 tahun bisa menjadi kendala dalam pemilihan.
Sementara itu, Kardinal Jean-Claude Hollerich dari Luksemburg menjadi representasi kelompok progresif dalam Gereja. Ia dikenal mendukung reformasi internal dan pemikiran inklusif, menjadikannya kandidat kuat dari kubu modernis.
Meski belum ada pernyataan resmi dari Vatikan, ketegangan politik dan spiritual di dalam Gereja semakin terasa. Menurut laporan Kompas.tv, “Saat ini belum ada pernyataan resmi dari Vatikan mengenai pengunduran diri Paus Fransiskus.”
Umat Katolik di seluruh dunia kini menanti jawaban dari pertanyaan besar: siapakah yang akan membawa Gereja ke arah baru di tengah tantangan zaman? Satu hal yang pasti, pemilihan Paus baru bukan sekadar pergantian figur, melainkan momentum penting bagi masa depan 1,3 miliar umat Katolik di seluruh dunia.
Berikut profil singkat dari lima kandidat yang paling dijagokan menjadi Paus baru:
1. Kardinal Pietro Parolin (Italia)
Sekretaris Negara Vatikan yang dikenal sebagai “menteri luar negeri” Gereja Katolik. Lahir pada 17 Januari 1955, ia memainkan peran penting dalam diplomasi internasional, termasuk negosiasi dengan Tiongkok. Parolin dikenal moderat, diplomatis, dan dekat dengan struktur kekuasaan di Vatikan.
2. Kardinal Luis Antonio Tagle (Filipina)
Mantan Uskup Agung Manila yang kini menjabat sebagai Pro-Prefek untuk Evangelisasi. Lahir pada 21 Juni 1957, Tagle populer di kalangan umat muda dan minoritas. Ia dikenal rendah hati, komunikatif, dan mewakili wajah Katolik Asia dalam konteks globalisasi iman.
3. Kardinal Matteo Zuppi (Italia)
Uskup Agung Bologna dan Presiden Konferensi Waligereja Italia. Lahir pada 11 Oktober 1955, ia aktif dalam upaya perdamaian global dan dikenal dekat dengan komunitas Sant’Egidio. Gaya pastoralnya membumi, berpihak pada kaum miskin, dan progresif dalam isu sosial.
4. Kardinal Christoph Schönborn (Austria)
Uskup Agung Wina dan teolog kawakan yang berperan dalam penyusunan Katekismus Gereja Katolik. Lahir pada 22 Januari 1945, ia dihormati karena kedalaman intelektual dan pemikirannya yang tajam. Namun, usianya yang kini 80 tahun menjadi salah satu kendala elektabilitasnya dalam konklaf.
5. Kardinal Jean-Claude Hollerich (Luksemburg)
Uskup Agung Luksemburg dan Relator Umum untuk Sinode tentang Sinodalitas. Lahir pada 9 Agustus 1958, Hollerich dikenal sebagai pemimpin progresif yang mendukung inklusivitas dan dialog dalam Gereja. Ia kerap mengangkat isu-isu sensitif seperti LGBTQ+ dan reformasi internal.
(*)