Depok, Jawa Barat - Menembus jurnal internasional bukan sekadar perkara menulis dalam bahasa Inggris yang baik. Di balik proses seleksi yang ketat, ada strategi-strategi tersembunyi yang jarang diketahui—bahkan oleh para akademisi berpengalaman. Kunci suksesnya ternyata terletak pada kemampuan memahami selera editor dan reviewer jurnal ilmiah, bukan semata kehebatan intelektual semata.
Dalam sebuah forum akademik yang membahas strategi publikasi ilmiah, terungkap berbagai pendekatan menulis jurnal internasional bereputasi yang selama ini luput dari perhatian. Salah satu pembicara, Prof. Hikmahanto Juwana, memberikan pernyataan tegas: “Menerbitkan artikel di jurnal internasional terkemuka bukan hanya perkara ide atau data yang kuat, tetapi juga soal gaya dan pendekatan penulisan yang tepat.”
Kalimat itu menjadi pembuka mata banyak peserta. Prof. Hikmahanto, yang merupakan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, menegaskan bahwa banyak peneliti Indonesia memiliki gagasan brilian, namun gagal menyampaikannya dalam bentuk yang bisa diterima oleh standar jurnal dunia. Menurutnya, penulisan jurnal internasional harus fokus, spesifik, dan menyasar satu isu utama secara mendalam. “Penulisan yang baik harus mengerucut, bukan melebar,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Dr. Damos Dumoli Agusman, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI. Ia mengingatkan bahwa keunikan sudut pandang sangat penting agar tulisan kita tidak terlihat “biasa” di mata reviewer. “Kita harus punya nilai tambah, jangan hanya menyajikan data. Tawarkan perspektif yang mungkin belum banyak dibahas,” katanya.
Salah satu jebakan umum yang disebut para narasumber adalah kecenderungan akademisi menulis terlalu banyak isu dalam satu artikel. Padahal, standar jurnal bereputasi tinggi menuntut ketajaman dalam menyampaikan satu argumen utama yang solid. “Jangan menulis seperti laporan, tapi bangun argumen yang meyakinkan,” tegas Prof. Hikmahanto.
Strategi lain yang tidak kalah penting adalah memahami jurnal yang dituju. Penulis harus membaca artikel-artikel sebelumnya dari jurnal tersebut untuk menangkap pola penulisan dan pendekatan metodologi yang digunakan. “Jangan kirim artikel seperti melempar dadu,” ujar Damos. Ia menyarankan agar penulis juga memahami kecenderungan ideologis atau tema yang sering diangkat oleh jurnal target.
Di luar aspek teknis, para narasumber juga mendorong akademisi untuk membangun jejaring internasional. Kolaborasi dengan peneliti luar negeri atau reviewer berpengalaman sering kali membuka jalan menuju publikasi yang lebih mulus. Koneksi seperti ini juga membantu dalam mendapatkan feedback yang sesuai dengan standar internasional.
Namun demikian, semua strategi tersebut tidak akan efektif tanpa ketekunan dan keberanian untuk merevisi naskah berkali-kali. “Siapkan mental untuk ditolak dan direvisi. Itu proses biasa,” ujar Prof. Hikmahanto, mengakhiri sesi diskusi.
Bagi banyak akademisi Indonesia, publikasi di jurnal internasional bereputasi masih menjadi tantangan besar. Namun melalui strategi yang tepat, keberanian untuk keluar dari pola lama, dan kemauan untuk belajar dari para praktisi berpengalaman, bukan hal mustahil untuk menembus tembok jurnal internasional.
(*)