Press ESC to close

10 Mega Skandal Korupsi Indonesia: Dari Pertamina Rp 193,7 T hingga Timah Rp 271 T

Jakarta - Kasus hukum terbaru, yaitu dugaan korupsi di PT Pertamina merugikan negara hingga Rp193,7 triliun. Kejaksaan Agung mengungkap lima komponen utama penyebab kerugian, termasuk ekspor minyak mentah ilegal dan impor melalui broker. 

Modus lainnya adalah pengoplosan Pertalite dengan Pertamax untuk keuntungan lebih. Sembilan tersangka telah ditetapkan, termasuk pejabat tinggi Pertamina. Penyidikan terus berjalan guna mengungkap pihak lain yang terlibat dan mencegah praktik serupa di masa depan.

Berikut merupakan Mega Skandal Korupsi di Indonesia:

Kasus Tata Niaga Timah - Rp 271 T

Kasus tata niaga timah dengan nilai kerugian Rp 271 triliun merupakan salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia. Kasus ini melibatkan praktik penambangan timah ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk selama periode 2015 hingga 2022. Praktik tersebut melibatkan kerja sama antara PT Timah Tbk dan beberapa perusahaan swasta untuk melakukan penambangan tanpa izin yang sah.

Kerugian yang diestimasi sebesar Rp 271 triliun bukanlah jumlah uang yang dikorupsi secara langsung, melainkan perkiraan kerugian lingkungan akibat kerusakan hutan dan lahan di Bangka Belitung. Ahli lingkungan memperkirakan bahwa kerugian ekologis di kawasan hutan mencapai Rp 157,83 triliun, dengan tambahan kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 60,276 triliun, dan biaya pemulihan sekitar Rp 5,257 triliun. Sementara itu, di kawasan nonhutan, kerugian ekologis diperkirakan sebesar Rp 25,87 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan biaya pemulihan Rp 6,629 triliun.

Selain kerugian lingkungan, kasus ini juga menyebabkan kerugian finansial bagi PT Timah Tbk. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa terdapat kerugian keuangan perusahaan sekitar Rp 29 triliun akibat penjualan bijih timah fiktif dan layanan peleburan yang tidak sesuai dengan prosedur.

Kasus Pertamina - Rp 193,7 T

Kejaksaan Agung telah mengungkap kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero), yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun pada tahun 2023 saja.

Kerugian ini berasal dari lima komponen utama:

1. Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri: sekitar Rp35 triliun.

2. Kerugian impor minyak mentah melalui broker: sekitar Rp2,7 triliun.

3. Kerugian impor BBM melalui broker: sekitar Rp9 triliun.

4. Kerugian pemberian kompensasi pada 2023: sekitar Rp126 triliun.

5. Kerugian pemberian subsidi pada 2023: sekitar Rp21 triliun.

Penyidikan mengindikasikan bahwa praktik korupsi ini telah berlangsung sejak tahun 2018 hingga 2023. Jika dihitung secara keseluruhan, total kerugian negara selama lima tahun tersebut diperkirakan mencapai Rp968,5 triliun.

Dalam pengembangan kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka, termasuk beberapa pejabat tinggi di lingkungan Pertamina dan perusahaan swasta terkait. Penggeledahan yang dilakukan oleh tim penyidik menemukan berbagai dokumen, perangkat elektronik, dan uang tunai yang diduga terkait dengan kasus ini.

Kasus ini menunjukkan adanya penyimpangan dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina, yang berdampak signifikan terhadap keuangan negara. Pemerintah dan aparat penegak hukum terus berupaya mengusut tuntas kasus ini untuk meminimalisir kerugian negara dan mencegah terulangnya praktik serupa di masa mendatang.

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) - Rp 138 T

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) merupakan salah satu skandal keuangan terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 138,4 triliun. BLBI awalnya disalurkan oleh Bank Indonesia kepada bank-bank umum nasional selama krisis ekonomi 1997-1998, dengan total penyaluran mencapai Rp 144,5 triliun. Namun, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2000 mengungkapkan bahwa Rp 138,4 triliun dari dana tersebut disalahgunakan, menyebabkan kerugian signifikan bagi negara.

Penyimpangan dalam penyaluran BLBI terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk penggunaan dana untuk kepentingan pribadi pemilik bank, pelunasan kewajiban yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, dan transaksi surat berharga yang melanggar ketentuan. Audit BPK menemukan bahwa dari total Rp 144,5 triliun yang disalurkan, sekitar 95,5% atau Rp 138,4 triliun digunakan tidak sesuai peruntukannya.

Upaya penegakan hukum terkait kasus BLBI telah menghadapi berbagai tantangan. Meskipun sejumlah debitur dan pejabat terkait telah diperiksa, banyak kasus yang dihentikan penyelidikannya atau tidak jelas proses hukumnya. Selain itu, kebijakan pemerintah pada masa lalu yang lebih memprioritaskan pengembalian aset daripada penegakan hukum telah memperumit penyelesaian kasus ini.

Kasus BLBI tidak hanya berdampak pada kerugian finansial negara, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap sistem perbankan dan penegakan hukum di Indonesia. Hingga saat ini, penyelesaian tuntas terhadap kasus ini masih menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan aparat penegak hukum.

Kasus Penyerobotan Lahan PT Duta Palma Group - Rp 78 T

Kasus penyerobotan lahan oleh PT Duta Palma Group merupakan salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia, dengan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 78 triliun. Kasus ini melibatkan penyerobotan lahan seluas 37.095 hektar di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, yang dilakukan tanpa izin resmi selama periode 2003 hingga 2022.

Kronologi Kasus

2003-2007: Bupati Indragiri Hulu saat itu mengeluarkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan kepada empat perusahaan di bawah PT Duta Palma Group tanpa melalui prosedur pelepasan kawasan hutan yang semestinya. Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi secara ilegal di lahan yang termasuk dalam kawasan hutan lindung.

2003-2022: PT Duta Palma Group mengelola lahan tersebut tanpa memiliki izin pelepasan kawasan hutan atau Hak Guna Usaha (HGU) yang sah. Selain itu, perusahaan juga tidak memenuhi kewajiban menyediakan pola kemitraan sebesar 20% dari total luas areal kebun yang dikelola.

Kerugian Negara

Tindakan ilegal ini menyebabkan kerugian ekonomi negara sebesar Rp 78 triliun. Angka ini mencakup berbagai aspek, termasuk hilangnya potensi pendapatan negara dari produksi tandan buah segar kelapa sawit, denda akibat pembukaan kawasan hutan tanpa izin, serta kerugian lingkungan yang signifikan.

Kasus ASABRI - Rp 22,78 T

Kasus korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 22,78 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan bahwa kerugian ini terjadi akibat penyimpangan dalam pengelolaan investasi saham dan reksa dana oleh ASABRI selama periode 2012 hingga 2019.

Penyimpangan tersebut melibatkan penempatan dana investasi ASABRI pada saham dan reksa dana yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga dana tersebut belum kembali hingga 31 Maret 2021. BPK telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif mengenai penghitungan kerugian negara ini kepada Kejaksaan Agung pada 27 Mei 2021.

Kasus ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk mantan petinggi ASABRI dan beberapa pihak eksternal. Mereka diduga berkolusi dalam mengatur dan mengendalikan transaksi serta investasi saham dan reksa dana ASABRI, yang mengakibatkan kerugian signifikan bagi perusahaan dan negara.

Kasus ASABRI ini menyoroti pentingnya pengawasan dan tata kelola yang baik dalam pengelolaan dana investasi oleh lembaga keuangan negara untuk mencegah terjadinya penyimpangan serupa di masa mendatang.

Kasus Jiwasraya - Rp 16,8 T

Kasus Jiwasraya merupakan salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia, dengan kerugian negara mencapai Rp16,81 triliun.

Pada tahun 2008, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mulai mengalami defisit keuangan sebesar Rp5,7 triliun akibat pengelolaan investasi yang tidak prudent.

Pada Maret 2009, Jiwasraya dinyatakan insolven karena kurangnya pencadangan kewajiban kepada pemegang polis.

Kerugian Negara

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat pengelolaan investasi yang menyimpang di Jiwasraya mencapai Rp16,81 triliun.

Kerugian ini berasal dari investasi saham sebesar Rp4,65 triliun dan investasi reksa dana sebesar Rp12,16 triliun.

Kasus Proyek BTS 4G Kominfo (Kini Berubah Nama Jadi Komdigi) - Rp 8,32

Kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikelola oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) / saat ini telah berubah nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) perhatian publik sejak 2023. 

Proyek ini bertujuan memperluas jaringan internet ke 9.113 desa dan kelurahan di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) Indonesia, namun mengalami penyimpangan besar.

Kerugian Negara

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat korupsi dalam proyek ini mencapai Rp 8,032 triliun. Kerugian tersebut berasal dari biaya penyusunan kajian pendukung, penggelembungan harga (mark up), dan pembayaran untuk BTS yang belum terbangun.

Kasus Bank Century - Rp 6,7 T

Kasus Bank Century adalah salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp6,7 triliun.

Bank Century terbentuk pada 6 Desember 2004 melalui penggabungan Bank CIC, Bank Danpac, dan Bank Pikko. Pada 2008, bank ini mengalami krisis likuiditas, yang kemudian memicu intervensi dari pemerintah dan otoritas keuangan.

Kerugian Negara

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengidentifikasi dua sumber utama kerugian negara dalam kasus ini:

Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)

Bank Indonesia memberikan FPJP kepada Bank Century, meskipun bank tersebut tidak memenuhi syarat.

Akibatnya, negara mengalami kerugian sebesar Rp689,39 miliar.

Penetapan Bank Century sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik

Keputusan pemerintah untuk menyelamatkan Bank Century melalui bailout dinilai menyimpang.

Hal ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp6,76 triliun.

Kasus Korupsi e-KTP - Rp 2,3 T

Kasus korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) merupakan salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia, dengan kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Proyek ini dimulai pada tahun 2011 dengan total anggaran sebesar Rp 5,9 triliun. Namun, dalam pelaksanaannya, terjadi penyelewengan anggaran yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha.

Kronologi Kasus

2011-2012: Proyek e-KTP dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri dengan tujuan menciptakan sistem identifikasi tunggal bagi warga negara Indonesia. Namun, dalam prosesnya, terjadi penggelembungan anggaran dan pengadaan yang tidak sesuai spesifikasi.

2013: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menyelidiki dugaan korupsi dalam proyek ini setelah menerima laporan tentang adanya penyelewengan.

2014: Mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan, Sugiharto, dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Irman, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

2017: Ketua DPR saat itu, Setya Novanto, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Setelah melalui serangkaian proses hukum, termasuk upaya praperadilan dan insiden kecelakaan yang kontroversial, Setya Novanto akhirnya ditahan oleh KPK.

2018: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Setya Novanto atas keterlibatannya dalam kasus ini.

Kerugian Negara dan Pengembalian Aset

Dari total kerugian negara sebesar Rp 2,3 triliun, hingga November 2018, KPK menyatakan bahwa pengembalian aset baru mencapai sekitar Rp 500 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan kerugian negara masih belum maksimal. 

Kasus Korupsi Proyek Tol MBZ - Rp 1,5 T

Kasus korupsi proyek Tol Layang Sheikh Mohammed Bin Zayed (MBZ) mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp1,5 triliun. Proyek ini merupakan pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek II Elevated yang dilaksanakan antara tahun 2016 hingga 2020 dengan nilai kontrak sebesar Rp13,5 triliun.

Pada September 2023, Kejaksaan Agung menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini, salah satunya adalah DD, Direktur Utama PT Jasamarga Jalan Layang Cikampek (JJC). Para tersangka diduga mengurangi volume pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak, sehingga tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati.

Pada Juli 2024, Djoko Dwijono, mantan Direktur Utama PT JJC, divonis tiga tahun penjara. Ia terbukti berperan dalam mengatur pemenang lelang dan mengurangi volume pekerjaan dalam proyek tersebut.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia melibatkan berbagai sektor strategis, mulai dari energi, keuangan, hingga infrastruktur.

Upaya pemberantasan korupsi terus menjadi tantangan bagi pemerintah dan penegak hukum untuk mencegah terulangnya skandal serupa di masa mendatang.

(*)

Graha Nusantara

Graha Nusantara adalah media siber yang menyajikan berita terkini, independen, dan akurat, mencakup politik, ekonomi, hukum, serta isu nasional dan daerah.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *