Jakarta - Langkah Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam mengungkap dugaan korupsi besar di kementeriannya menggemparkan publik.
Dengan keberanian yang jarang terlihat di lingkup birokrasi, ia mengungkap praktik lancung yang diduga merugikan negara hingga Rp40 triliun.
Amran tidak hanya berbicara, tetapi langsung bertindak dengan menonaktifkan 11 pejabat yang terindikasi terlibat dalam penyalahgunaan distribusi pupuk bersubsidi.
“Kami akan bersihkan semua yang bermain-main di Kementan,” tegas Amran. Sikapnya ini menuai apresiasi luas.
Masyarakat melihatnya sebagai contoh kepemimpinan yang tegas, berorientasi pada kepentingan rakyat, dan tidak segan menghadapi kepentingan-kepentingan tertentu.
Namun, langkah berani ini juga menimbulkan perbandingan dengan kementerian lain, terutama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dipimpin Erick Thohir.
Sebagai Menteri BUMN, Erick Thohir sejatinya telah menunjukkan komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi.
Ia bekerja sama dengan Kejaksaan Agung untuk mengusut berbagai dugaan korupsi di lingkungan perusahaan pelat merah.
Salah satu langkah nyatanya adalah membahas penegakan hukum dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin, terutama terkait kasus-kasus yang menyeret BUMN besar seperti Pertamina.
Namun, di mata publik, langkah Erick dinilai lebih lamban dibandingkan gebrakan Amran Sulaiman.
Jika Amran langsung menonaktifkan pejabat yang terindikasi terlibat, Erick tampak lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan.
Publik pun mempertanyakan: apakah pendekatan Erick yang lebih diplomatis cukup efektif dalam membersihkan BUMN dari praktik korupsi? Ataukah ia perlu mengikuti jejak Amran yang lebih agresif dalam bertindak?
Harapan publik terhadap birokrasi yang bersih semakin tinggi, terutama di tengah maraknya skandal yang melibatkan pejabat negara.
Ketegasan Amran Sulaiman telah membuktikan bahwa keberanian dalam menindak praktik korupsi dapat langsung dirasakan dampaknya.
Kini, bola panas berada di tangan Erick Thohir—akankah ia mengambil langkah serupa atau tetap bertahan dengan pendekatan yang lebih hati-hati?
(*)