Jakarta - Sekelompok massa yang tergabung dalam Gerakan Pro Konstitusi dan Demokrasi Daerah (GPKD) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta (28/25).
Mereka menuntut pembatalan seluruh putusan MK terkait Pilkada 2024, dengan alasan bahwa keputusan-keputusan tersebut dianggap tidak sah karena masih dipimpin oleh Suhartoyo, yang pengangkatannya sebagai Ketua MK telah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Koordinator aksi, Al Farisi, menyatakan bahwa meskipun PTUN telah membatalkan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK, hingga saat ini Suhartoyo masih menjabat dan memimpin sidang sengketa hasil Pilkada.
"PTUN telah memutuskan untuk membatalkan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK. Namun, hingga kini, beliau masih menjabat dan mengadili sengketa hasil Pilkada," ujar Farisi.
Farisi menegaskan bahwa setelah putusan PTUN tersebut, semua keputusan MK di bawah kepemimpinan Suhartoyo kehilangan legitimasi dan layak dianggap ilegal.
Ia menekankan bahwa putusan MK terkait sengketa hasil Pilkada memiliki dampak signifikan terhadap keberlangsungan demokrasi di tingkat lokal.
"Bagaimana mungkin nasib demokrasi daerah diserahkan kepada institusi yang secara struktural dan fungsional dipimpin oleh individu yang bermasalah? Beberapa kandidat bahkan didiskualifikasi. Seharusnya, Suhartoyo yang didiskualifikasi terlebih dahulu agar putusan MK benar-benar adil dan berintegritas," tambahnya.
Menurut Farisi, banyak pihak dirugikan oleh putusan MK tersebut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) tercoreng citranya karena dianggap tidak profesional. Pengorbanan para kandidat yang didiskualifikasi, baik dari segi waktu, tenaga, maupun materi, menjadi sia-sia.
"Keterikatan emosional pemilih dengan figur serta visi dan program kandidat terputus begitu saja. Selain itu, negara juga mengalami pemborosan anggaran," lanjutnya.
GPKD juga menyoroti putusan MK yang mendiskualifikasi kandidat dengan alasan telah menjabat dua periode. Menurut mereka, kasus semacam ini tidak akan terjadi jika ketentuan perundang-undangan mengatur masalah tersebut dengan jelas dan tegas.
"Mengapa hal ini baru dipermasalahkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), saat semuanya sudah terlambat? Bukankah periodisasi itu lebih terkait dengan aturan yang masih ambigu, sehingga memicu perbedaan tafsir di antara para pemangku kepentingan Pilkada?" tanya Farisi.
Ia menambahkan bahwa MK, bersama dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), seharusnya bersikap proaktif sejak awal untuk mengantisipasi persoalan yang berpotensi merugikan banyak pihak dalam Pilkada.
"Bukan berperan sebagai pahlawan yang terlambat," imbuhnya.
Farisi juga mengkritik MK yang terkesan ingin membangun citra sebagai satu-satunya lembaga penjaga konstitusi dan pengawal demokrasi.
Padahal, menurutnya, putusan MK justru melanggar semangat negara hukum dan mencederai nilai-nilai demokrasi.
"Sejak awal, selama ketuanya masih Suhartoyo, MK tidak memiliki legitimasi serta integritas moral dan hukum untuk memutus perkara," pungkasnya.
(*)